Kamis, 18 Desember 2008

Di Balik Pembatalan Laptop

Oleh: A.Rahmat

Pada pernyataan sebelumnya, ketua DPR menjelaskan bahwa pengadaan laptop sudah disepakati oleh seluruh fraksi. Proyek ini diadakan demi efektivitas kinerja anggota dewan. Hal ini diungkapkan ketika banyak pihak yang mengkritisi keputusan ini.
Akan tetapi, keputusan ini dibatalkan melalui hasil rapat lebih lanjut. Polemik ini menjadi sebuah tanda tanya, apakah kita bersyukur atau semakin heran? Artinya, ada sebuah “kebanggaan” ketika masyarakat menolak sebab keputusan ini dibatalkan. Tetapi, menjadi sebuah polemik juga, kenapa keputusan pembatalan ini cepat sekali dilakukan.
Disadari atau tidak, tentu keputusan ini harus dicermati dan dikritisi lagi. Bukan sebagai uforia bagi masyarakat karena tuntutuannya lolos. Pertama ada indikasi bahwa DPR mencoba untuk ‘memperbaiki’ kinerja dan perspektif masyarakat terhadap keberadaan dan fungsi DPR. dalam artian bahwa diharapkan akan muncul penilaian yang positif terhadap kebijakan dewan.
Indikasi ini pada dasarnya masih bisa berlaku. Sebab, penilaian masyarakat belum seutuhnya terarah pada proses kritis. Masih dalam pemahaman yang berada pada tataran permukaan saja. Seperti halnya pemilu, penilaian masyarakat terhadap calon belum terarah pada seluk-beluk calon. Tetapi calon mana yang populer maka kemungkinan untuk menduduki tahta kekuasaan akan semakin besar.
Tidak bisa dinafikkan, bahwa kondisi masyarakat sekarang ini adalah masyarakat yang konsumtif dan apatis. Mereka cepat sekali meresap ‘sajian’ yang ditampilkan oleh media, sehingga ketika media mampu mengemas dengan bagus, pasti akan disantap oleh masyarakat. Sehingga ketika pro-kontra pengadaan laptop mencuak, maka DPR mulai mengkaji hal ini lebih dalam. Indikasi ini pada dasarnya dianalisa pada kondisi masyarakat kita.
Kedua adanya pengalihan isu. Analisa ini tidak terlepas dari banyaknya kebijakan yang ditentang tapi mampu ‘diatasi’ akibat dari pengalihan isu. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM dengan pergolakan masyarakat yang kuat, kemudian ditutupi dengan kasus blok Ambalat. Kehadiran problem Ambalat ini begitu kuat ditataran masyarakat.
Melalui pemberitaan media yang begitu kuat, muncul aksi-aksi untuk ganyang Malaysia. Frekuensi pemberitaan ambalat dengan aksi penolakan BBM sangat jauh. Artinya, keberadaan aksi penolakan BBM ini mampu dikalahkan oleh pemberitaan kasus Ambalat. Imbasnya adalah hilangnya isu BBM dan semakin mulusnya kebijakan kenaikan BBM oleh pemerintah. Nampaknya, pemerintah begitu cerdas dalam menggunakan media massa.
Ketiga adalah lemahnya DPR dalam menganalisa berbagai kebijakan. Disadari atau tidak, kebijakan ini adalah hasil kesepakatan oleh seluruh fraksi di DPR. Itu artinya, melalui sebuah proses yang demokrasi dan legitimate. Sehingga seharusnya kebijakan ini mampu dipertahankan oleh DPR. Akan tetapi, melihat keputusan ini, nampaknya ada sesuatu yang tidak beres di DPR.
Sejatinya, sebagai lembaga legislatif, DPR seharusnya membuat produk kebijakan yang komprehensif. Artinya, dalam proses kerja DPR adalah lebih ditujukan pada pengambilan kebijakan selain kontrol terhadap pemerintah. Kebijakan yang diambil oleh lembaga legislatif harus melalui proses input dari masyarakat.
Dalam sistem politik, kebijakan yang diambil bersumber dari input yaitu berupa tuntutan, kepentingan dan dukungan. Point ini kemudian diolah dalam sistem pemerintahan, termasuk legislatif sebagai salah satu lembaga pengambil kebijakan. Hasil pengolahan kebijakan ini kemudian dijadikan output sebagai bentuk apresiasi terhadap input dari masyarakat tadi.
Tentunya, proses ini tidak serta merta berjalan dengan mulus dan tanpa sebuah i’tikad baik. Pada taraf input, prosesnya beragam, mulai dari aksi demonstrasi hingga berbagai wadah lainnya termasuk melalui partai politik dan LSM. Berikutnya, adalah pengolahan dari input yang telah ada.
Jika dikontekskan pada kondisi saat sekarang, proses pengolahan ini akan lebih rumit dan butuh kejelian. Artinya dengan banyaknya masalah yang ada, tentu harus ada prioritas utama. Hal inilah yang hampir tidak ada dalam planning anggota dewan. Keputusan pengadaan laptop yang sudah disepakati (walau dicabut) adalah bukti bahwa tidak ada kebijakan prioritas. Padahal banyak kasus yang membutuhkan perbaikan dalam sistem kenegaraan kita.
Maka dari itu, kinerja yang ada dalam DPR sekarang ini pada dasarnya belum menunjukkan kualitas sebagai pengambil kebijakan. Sehingga, sistem politik yang dibangun pada taraf yang lebih urgen, belum terlaksana dengan baik. Permasalahan yang terjadi dalam bangsa ini adalah masih terlalu kuatnya kepentingan partai/ golongan.
Hampir setiap periode kepemimpinan bangsa dalam pengambilan keputusan oleh eksekutif, sikap pro-kontra yang muncul adalah kedua kelompok kepentingan ini. Sehingga perdebatan yang terjadi bukan lagi melihat kondisi masyarakat, tapi lebih condong pada ‘siapa yang ada di eksekutif’. Frase proses input inilah yang seharusnya dibenahi dalam sistem ini. Karena akan berdampak pada output yang nantinya dirasakan oleh masyarakat.
Memaknai fungsi pemerintah
Ketika Montesque mencetuskan trias politica, maka muncul lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif yang kemudian melebur menjadi pemerintah. Sehingga pada dasarnya, pemerintah adalah ketiga unsur ini yang kemudian diharapkan adanya sinergisitas dalam menjalankan tujuan negara.
Negara dibentuk adalah atas dasar kesepakatan sosial dalam sebuah wilayah. Pada proses selanjutnya, maka dibutuhkan struktur untuk menjalankan keinginan sosial yang kemudian disebut pemerintah. Sehingga, secara sederhana dapat dipahami bahwa pemerintah adalah perwujudan yang lebih sederhana dari konsensus sosial tersebut.
Teori ini nampaknya telah dibalik di Indonesia. Paradigma yang selama ini muncul adalah pejabat pemerintah seakan menjadi raja. Padahal sejatinya pemerintah adalah pelayan dalam masyarakat. Indikator pelayanan yang memuaskan adalah ketika masyarakat benar-benar merasakan keberadaan mereka.
Bertolak pada pemahaman ini, seharusnya ada good will dari pemerintah selaku pengambil kebijakan terhadap kepentingan masyarakat. Kebijakan yang tanpa analisa mendalam adalah sebuah kesalahan yang fatal. Pembelajaran bukan hanya pada masyarakat tapi juga terhadap anggota dewan. Tidak semuanya paham dengan sistem pemerintahan. Sehingga ketika pengambil kebijakan tidak paham, maka keputusan yang diambil juga tidak mengena.

Tidak ada komentar: