Jumat, 31 Juli 2009

“Gerak Melintas Zaman”, Tema Muktamar Muhammadiyah 2010


Yogyakarta – Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Surat Keputusan Nomor : 107/KEP/I.0/B/2008 tertanggal 16 Juli 2008 menetapkan tema Muktamar tahun 2010 yaitu : Muktamar Satu Abad Muhammadiyah, Gerak Melintas Zaman Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama.

Menurut penjelasan tertulis ketua SC Muktamar, Dr. Haedar Nashir, “Gerak Melintas Zaman” mengandung dua makna, pertama melewati masa sejak kelahirannya hingga usia ke-100, kedua menyeberangi yakni memasuki fase baru setelah usianya satu abad ke peralihan abad selanjutnya.

Lebih lanjut Haedar menjelaskan bahwa dalam melintasi zaman tersebut Muhammadiyah hadir sebagai gerakan Islam yang mengemban misi dakwah dan tajdid sebagaimana spirit awal kelahirannya yang tercantum dalam Statuten Muhammadiyah 1912: “menyebarluaskan” [dakwah] dan “memajukan” [tajdid] hal ihwal ajaran Islam di seluruh tanah air -- mula-mula di karesidensi Yogyakarta kemudian di seluruh Hindia Belanda -- saat itu). Dakwah dan tajdid Muhammadiyah tersebut tidak lain untuk mewujudkan “Peradaban Khaira Ummah” yakni peradaban masyarakat Islam yang sebenar-benarnya atau bisa diartikan sebagai manifestasi objektif atau objektivasi dari kehidupan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di negara Indonesia.

Haedar dalam penjelasan satu halaman tersebut juga menyatakan bahwa Muhammadiyah dalam perjalanan usianya satu abad dapat dikatakan telah melewati dinamika zaman yang penuh perjuangan suka maupun duka dalam rentang tiga zaman yaitu era perjuangan kemerdekaan di masa kolonial, era setelah kemerdekaan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan era baru Reformasi yang masih akan berlangsung penuh pertaruhan. Muhammadiyah dalam pergantian abad dari kelahirannya akan memasuki abad baru sehingga dari titik abad tersebut Muhammadiyah akan melintasi zaman dengan segala tantangan, masalah, dan harapan baru ketika dunia berada dalam fase post-modern dan era globalisasi dengan seribusatu dinamikanya.

Menurut haedar, dalam menghadapi pergantian abad menuju fase baru itu Muhammadiyah dituntut merumuskan ulang orientasi/aktualisasi dakwah dan tajdid yang menjadi fokus gerakannya, sehingga mampu melampaui/melintasi zaman yang dilalui dan dihadapinya dengan penuh kesiapan untuk menghadirkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin. (arif)

JALAN PANJANG PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) MEMBINA KADER PEMIMPIN BANGSA YANG BERKEPRIBADIAN DAN BERPERADABAN ISLAM


Pelajar Islam Indonesia (PII), Kiprah dan Pergerakannya telah teruji dan memberi kontribusi yang besar bagi ummat dan bangsa. Gagasan untuk mendirikan PII adalah upaya untuk menutup adanya jurang pemisah yang sekian lama diciptakan oleh penjajah antara pelajar umum (hasil didikan pola belanda) dengan santri (pelajar Islam) hasil didikan pesantren yang sesungguhnya adalah sama – sama “pelajar” dari keluarga muslim.

Adalah Seorang Pelajar bernama Joesdi Ghozali yang menjadi inspirator pembentukan wadah bagi para pelajar Islam yang ketika itu belum terkoordinasi, cita – cita itu dirintis dalam pertemuan di Gedung SMP Negeri II Secodiningratan, Jalan Senopati Yogyakarta dengan dihadiri oleh Joesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amir Syahri, Ibrahim Zarkasji dan Noorsjaf yang menghasilkan kesepakatan pembentukan yang akan diusulkan dalam forum kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang dilangsungkan pada tanggal 30 Maret – 1 April 1947 di Gedung Muallimin, Yogyakarta.

Dalam Kongres GPII itulah Anton Timur Djaelani yang menjabat sebagai Pimpinan Pusat GPII bagian pelajar mengemukakan masalah GPII bagian pelajar dan pada saat itulah Joesdi Ghozali mengemukakan ide tentang perlunya organisasi pelajar yang terpisah sehingga kemudian timbullah diskusi diantara para utusan kongres yang sebagian besar akhirnya menyetujui lepasnya GPII bagian pelajar untuk dilebur menjadi Organisasi Pelajar Islam Indonesia. Dalam Kongres itu juga disusun draft AD/ART PII yang dibagikan kepada semua utusan untuk dibahas di daerahnya masing – masing.

Pada Hari Ahad, 4 Mei 1947 diadakan pertemuan di Gedung GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta yang secara resmi menetapkan AD/ART dan Mendeklarasikan penggabungan beberapa organisasi pelajar seperti Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia Yogyakarta (PPII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia Bagian Pelajar, Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS) dan Persatuan Kursus Islam Sekolah Menengah Surabaya (Perkisem) atas dasar kesamaan azas dan cita – cita. Pada tanggal 4 Mei itulah Pengurus Besar PII Pertama terbentuk dan sejak itulah tanggal 4 Mei dijadikan Hari Kebangkitan PII, disingkat HARBA PII, hari lahirnya kesadaran dan tanggung jawab sebagai Pelajar Islam terhadap agama, nusa dan bangsa.

PII ditengah Bahaya Merah PKI

Karena situasi negara yang masih “membara” untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan maka dalam tubuh PII muncul gagasan perlunya “Sumbangan PII dalam pertahanan dan pembelaan Negara”, sehingga dalam konferensi Besar I di Ponorogo terbentuklah “Brigade PII” yang dikomandani oleh Abdul Fattah Permana sebagai wadah untuk menyalurkan anggota PII yang berbakat di bidang ketentaraan ke Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah yang pada perkembanganya merupakan cikal bakal lahirnya TRI atau TNI dibawah kepemimpinan Panglima Besar Jendral Soedirman.

Dalam kesempatan menghadiri peringatan HARBA PII pertama di Yogyakarta, Pak Dirman memberikan sambutannya yang dapat dikutip sebagai berikut :

“Teruskan perjuanganmu, hai anak – anakku PII, negara kita adalah negara baru, didalamnya penuh onak dan duri, kesukaran dan tantangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia!”

Jika pada tahun 1945 GPII berhasil mencegah dominasi organisasi Pemuda Indonesia oleh Ideologi Kiri yang terlibat Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, demikian pula PII berhasil mencegah dominasi organisasi pelajar dari ideologi merah.

PII dengan Brigadenya berdampingan dengan laskar – laskar lainnya dari bangsa Indonesia terjun ke medan – medan pertempuran untuk mengusir penjajah yang ingin menjajah kembali negeri ini dan menumpas pemberontakan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO) di bawah pimpinan Amir Syarifuddin dari Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Muso di Madiun pada tahun 1948.

Selanjutnya, PII terlibat aktif dalam Konferensi Pemuda Antar Indonesia yang dihadiri oleh 28 organisasi pemuda dari seluruh tanah air, Konferensi ini pada tanggal 17 Agustus 1949 berhasil melahirkan sikap dan tekad Generasi Muda Indonesia yang dikenal sebagai “Manifest Pemuda Indonesia”, yang salah satu isinya adalah :

“Pembaharuan tekad, tenaga dan pikiran untuk melanjutkan perjuangan pemuda seluruh Indonesia dengan pedoman : berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, bertujuan kesempurnaan Negara Republik Indonesia yang satu, berdaulat dan merdeka, yang meliputi Kepulauan Indonesia (termasuk Irian Barat), dengan semboyan : satu bangsa, satu bahasa, satu negara Indonesia, dengan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dan bendera merah putih”

Manifest Pemuda tersebut ditandatangani oleh 28 wakil – wakil organisasi pemuda Indonesia, sedangkan dari PII yang ikut menandatangani adalah A. Halim Tuasikal.

Satu lagi Peran penting PII yang patut dicatat adalah keterlibatannya dalam Kongres Muslimin Indonesia (20-25 Desember 1949) yang turut melahirkan Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dengan pimpinan terpilih antara lain : KH A. Ghaffar Ismail, Anwar Haryono, dan Wali Al Fatah.

Dalam Kongres inilah PII mengajukan 5 (lima) pernyataan sikap yang sangat bersejarah yaitu :

1. Adanya Satu Partai Politik Islam, ialah Masyumi
2. Adanya Satu Organisasi Pemuda Massa Islam, ialah GPII
3. Adanya Satu Organisasi Pelajar Islam, ialah PII
4. Adanya Satu Organisasi Mahasiswa Islam, ialah HMI dan
5. Adanya Satu Pandu Islam, ialah Pandu Islam Indonesia (Hizbul Wathan)

Seiring Bahaya Merah PKI yang masih mengancam generasi muda Indonesia maka PII merasa terpanggil untuk menentukan sikap. Pada Kongres Pemuda Indonesia di Surabaya (14-15 Juni 1950), PII melihat adanya ketidakserasian karena masing – masing golongan ingin saling menguasai. Blok – blokan ini terjadi karena Kongres Pemuda ini banyak ditunggangi oleh aliran kiri (Pesindo Pemuda Rakyat), bahkan mereka secara terang-terangan memasang gambar foto “suripto”, salah seorang pemimpin pemberontakan PKI di Madiun. Atas dasar inilah Pengurus Besar PII secara tegas memutuskan menolak bergabung dalam Front Pemuda Indonesia.

Pada tahun 1965, PII dengan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI)-nya dibawah kepimpinan M. Husnie Thamrin yang menjadi Ketua KAPPI Pusat menjadi ujung tombak angkatan enam – enam, menumpas G30S/PKI sampai ke akar – akarnya.

PII dan Gerakan Amal Sholeh

Setelah PKI Bubar dan pemerintahan beralih dari orde lama ke orde baru maka PII mengubah haluannya yakni tidak lagi terjun ke kancah politik praktis dengan kembali kepada ideologi perjuangan semula sebagai organisasi pelajar dengan mengaktulisasikan diri dalam Program GAS (Gerakan Amal Sholeh) yang terkenal dengan slogan Kembali ke Masjid, kembali ke Bangku Sekolah dan Kembali ke Kampung. GAS merupakan usaha PII untuk ikut menanggulangi krisis moral yang melanda generasi muda sekaligus mengarahkan PII untuk bergiat dalam pendidikan dalam rangka membangun bangsa dan negara yang diridhoi Allah SWT.

Sebagai organisasi massa sosial dan pendidikan, PII telah mempunyai suatu sistem latihan yang efektif bagi generasi muda yaitu :

1. Latihan Kepemimpinan (Leadership Training) bagi para anggotanya dari mulai tingkat dasar sampai tingkat lanjutan
2. Latihan Kejiwaan (Mental Training) dan pesantren kilat yang terbuka untuk semua generasi muda.
3. Latihan Kerja Kemasyarakatan (Perkampungan Kerja Pelajar/Pemuda) dan Brigade Pembangunan yang terbuka untuk semua generasi muda.

PII dan masa depan Kepemimpinan Nasional

Pergerakan Pelajar Islam Indonesia dengan pemberdayaan potensi pelajar dan generasi muda yang senantiasa diperjuangkannya, menjadikan PII membuka jalan bagi mempersiapkan kader – kader pemimpin yang berkepribadian dan berperadaban Islam. Jadi tidaklah berlebihan jika kini banyak nama – nama alumni PII yang berkiprah dan berperan strategis di berbagai bidang termasuk juga dalam hiruk pikuk pentas politik negeri ini.

Meski PII memiliki kedekatan sejarah dan emosional dengan Partai Masyumi yang dikenal sebagai Keluarga Besar Bulan Bintang namun PII maupun Keluarga Besar PII tetap independen dan tidak ber-afiliasi pada salah satu partai politik tertentu.

Kendati sebagian besar mantan petinggi PII melabuhkan pilihan politiknya kepada PBB (Partai Bulan Bintang / Partai Bintang Bulan) diantaranya Dr. Anwar Haryono, Hussein Umar, Abdul Qodir Djaelani, Hartono Marjono, dan banyak yang tidak tersebutkan namun tidak sedikit mantan aktivis PII yang berkiprah di partai lain seperti AM Saefuddin dan Husni Thamrin di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Abdul Hakam Naja dan AM Fatwa di Partai Amanat Nasional (PAN) dan beberapa diantaranya juga menjadi deklarator dan pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti Mutammimul Ula.

Dibalik fakta ini PII sebagai organisasi pelajar dituntut untuk tampil independen dan tidak larut dalam pragmatisme politik sebab PII dengan Gerakan Amal Sholeh-nya senantiasa dinanti kiprah dan sumbangsih-nya dalam mempersiapkan kader-kader ummat dan bangsa yang berkepribadian dan berperadaban Islam.


(Ditulis Oleh : Badrut Tamam Gaffas dan Badriyah Handayani untuk Bulan Bintang Media, Sebagian materi tulisan ini dikutip dari Buku “Pak Timur Menggores Sejarah”, Penerbit PT. Bulan Bintang, Cetakan I tahun 1997, Editor : H.M Natsir Zubaidi dan Moch Lukman Fatahullah Rais, SH.)

Kamis, 23 Juli 2009

Spekulasi Liar Dibalik Pengeboman Ritz dan Marriot

Pagi yang sibuk. Raungan sirene memekakkan telinga. Di seputaran mega Kuningan, banyak pengendara motor dan mobil menepikan kendaraannya.

Bagaimana magnet, pengemudi yang lain banyak menirunya. Ada juga yang sekadar melambatkan laju kendaraannya. Kemacetan pun mengular. Rasa ingin tahu kian menyapa. Ketika ditanya, seorang pengendara motor menjawab santai, "Kebakaran".Tapi, sejauh mata memandang hanya terlihat kebutlan asap tipis. Kebakaran? Sepertinya bukan.

Dan, tak menunggu lama. Konfirmasi itu pun berdatangan. "Ada Ledakan, jangan kemana-mana". "Ritz Carlton dibom". "Marriot dibom lagi". Begitu pesan mengalir. Dan, semuanya benar.

Associated Press melaporkan, bahwa bom pertama meledak di JW Marriot. Lima menit kemudian, diikuti ledakan di Ritz. Sekurangnya dikonfirmasi ada 4 korban dilaporkan dalam keadaan luka parah. Seorang di antaranya terlihat perutnya terburai. Televisi lokal melaporkan sekurangnya ada 9 korban yang tengah di rawat di beberapa rumah sakit di Jakarta.

Jika berdiri sendiri, ledakan di dua hotel ini barangkali akan dihubungkan dengan peristiwa pengeboman terhadap JW Marriot pada Agustus 2003 silam. Ketika itu, Jamaah Islamiyah yang diduga menjadi pelakunya. Jadi, ini semacam "Bom Bali II".

Tapi, tatkala dihubungkan peristiwa lain, kesimpulan liar bisa mengarah ke tempat lain.

Peristiwa itu adalah penembakan yang terjadi di Timika, Papua. Sasarannya adalah pegawai-pegawai Freeport. Sudah dua nyawa melayang, sejauh ini. Dan, ketegangan belum juga terurai. Seperti biasa, OPM yang dituduh sebagai pelakunya. Namun, ada yang ragu ini dilakukan oleh OPM. Menurut yang menyangsikan, jika OPM maka serangan akan ditujukan pada instalasi strategis dan bukannya personil.

Jika disambungkan dengan perampokan uang BNI sebesar Rp 15 miliar yang sedang diantar oleh sebuah perusahaan keamanan di Jakarta beberapa hari lalu. Perampokan itu tak ayal mengirim sinyal-sinyal kegentingan.

Sejauh ini, sekurangnya ada dua spekulasi yang mudah terbangun.

Jika dihubungkan dengan pilpres, tak ayal bakal mudah ada tudingan bahwa semua ini ada kaitannya dengan pihak-pihak yang tidak puas (kalah). Spekulasi ini sepertinya terbangun karena adanya persepsi negatif terhadap kandidat tertentu. Sekali lagi,ini hanya persepsi dan bukan fakta dan hanya berputar-putar dibenak orang-orang yang sudah mempunyai prasangka atau trauma.

Jika dihubungkan dengan krisis keuangan global, gangguan keamanan ini merupakan upaya strategis untuk meruntuhkan 'kemolekan' Indonesia. Di banding negara-negara tetangga, Indonesia terbilang mengkilap. Pertumbuhannya masih positif pada kuartal pertama 2009, meski sedikit lebih rendah dari tahun sebelumnya. Tapi, jika dibandingkan Singpura, Malaysia dan Thailand (yang mengalami gejolak politik), kondisi Indonesia jelas bisa bikin 'iri'.

Spekulasi dengan nalar seperti ini pernah mengemuka tatkala terjadi bom Bali II. Ketika itu, ada sementara kalangan di dalam negeri yang menduga pengeboman itu ada kaitannya dengan kompetisi merebutkan pasar pariwisata. Kebetulan, ada negara tetangga yang sedang hot-hotnya mempromosikan dirinya. Dan, kebetulan pula, anasir-anasir pelaku pengeboman di tanah air memiliki hubungan personal dan organisatoris dengan kolega dan organisai sejenis di negeri jiran tersebut. Bahkan, salah satu ahli pengemboman itu memang warga negara dari negeri tersebut. Satunya sudah tewas dalam sebuah penyeragapan beberapa tahun silam.

Tetap terbuka dan lebih aman untuk menduga, ketiga peristiwa ini benar-benar sesuatu yang sama sekali terpisah.
berpolitik.com