Rabu, 31 Desember 2008

MELEK POLITIK “2009”

SALAM PERJUANGAN…!!!

Apa kabar saudara-saudaraku, sudah sampai dimana kepedulian kita? Berapa rakyat yang sudah kita berdayakan? Berapa wilayah yang sudah kita garap? Berapa kampung, desa, dusun yang kita masuki. Indonesia berdiri diatas 33 propinsi, 400an kabupaten/kota, 400.000, kecamatan & jutaan desa/kampung. Waktu kita tidak banyak dan berlomba dengan beragam persoalan social-politik yang terus saja muncul, mengguritanya system kapitalisme global, nyaris menghantam seluruh anak cucu bangsa ini, memasuki subjektifitas dirinya, tak terkecuali anak belia dari bangsa ini telah diajari hidup individual, dimanjakan dengan produk luar negeri, dimanjakan dengan kemewahan, susah membedakan kebutuhan dan keinginannya. Ahirnya hilangllah rasa senstifitas terhadap sekelilingnya.

Sama halnya dengan sebagian Elit bangsa, telah terjangkit firus mematikan abous of power dan melupakan rakyatnya. Mereka lebih sibuk dengan dirinya sendiri, merumuskan konsepsi-konsepsi kosong. Ketimbang terlibat dalam substansi manifestasi terhadap nilai kemanusiaan. Memilih dehumanisasi ketimbang memanusiakan manusia. Yang notabenen adalah konstituennya.

Saudara-saudaraku. kekuatan kita terbatas, jika tidak dikatakan tidak ada. Hanya ada satu kekuatan yang kita meiliki hari ini: KEYAKINAN KITA, Keyakinan yang melahirkan semangat, keyakinan yang memupuk militansi, keyakinan yang menjadi magnet dalam gerak kita dan keyakinan yang mempersatukan kita. Jika demikian tunggu apalagi? BERGERAK….!!!
Hari ini kita saksikan betapa santunnya elit politik partai menyapa rakyat. Mereka menjanjikan perubahan yang “melangit-abstrak-fatamorgana-ilusif. Dimana kegagalan telah mereka pentaskan tahun 2004. kini 2009 panggung telah dibuka pementasan di mulai. Masihkah kita menginginkan memasuki lubang yang sama? Jika tidak. Mengapa tidak saja menyiapkan perlawanan, memberikan alternatif, dan menawarkan solusi akar persoalan bangsa ini?

Saudara-saudaraku yang terhormat. Membangun Kesadaran politik Masyarakat bukanlah hal yang mudah, membangun kesadaran politik ditengah pesimisme rakyat membutuhkan strategi dan taktik yang jituh. Filosofi gerak yang kuat sehingga ruang komunikasi dengan rakyat terbuka. Namun saya secara pribadi yakin kawan-kawan memiliki strategi tersendiri. Paham kondisi local masing-masing, dan memiliki akses ke akar rumput. Setiap hari, setiap jam, menit, detik. Bangun kekuatan, jalin aliansi taktis, buka ruang komunikasi, masuki kampung-kampung, desa dan dusun. Katakan bahwa perubahan sejati hanya ada ditangan RAKYAT maka: BERGERAKLAH…!!!


Salam Perjuangan & Pekik Allahuakbar….!!!
Rahmat Abd Fatah

Rabu, 24 Desember 2008

Sudah Siapkah Orang Miskin Tidak Makan?

Kemiskinan di indonesia merupakan salah satu masalah sosial yang perlu perhatian lebih dari pemerintah, kemiskinan juga merupakan salah satu akar masalah sosial dengan artian orang orang semakin banyak yang miskin maka masyarakatnya juga akan susah mengakses pelayanan-pelayanan untuk meningkatkan tarap hidupnya. Untuk melakukan itu semua harus ada kebijakan dari pemerintah untuk menekan angka kemiskinan tersebut.

Isu yang paling menarik untuk ditelaah akhir-akhir ini adalah kebijakan pemerintah pusat untuk mengganti bahan bakar dari minyak tanah menjadi LPG, kebijakan pemerintah ini menimbulkan tanda tanya besar untuk masyarakat yang memakai bahan bakar minyak tanah selama ini. Pertanyaan yang mendasar dari pada kebijakan ini adalah sudah siapkah masyarakat menerima kebijakan tersebut?

Dari pertanyaan tersebut team kami dari Laboratorium Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Malang mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan melakukan penelitian di kota Malang. Dari hasil penelitian yang dilakukan memberikan jawaban sementara tentang kebijakan konversi minyak tanah khusus di kota Malang. 72 % memilih kurang setuju dengan konversi minyak tanah dengan beberapa alasan yang diutarakan oleh masyarakat kota Malang.

Dari 12 alasan yang diutarakan oleh responden dalam penelitian ini dari 412 yang menjadi respon yang memilih tidak setuju 211 responden beralasan karena LPG mahal untuk dikonsumsi masyarakat dan lebih berbahaya penggunaannya dari pada minyak tanah.
Anggapan mahal disini merupakan artia dilihat dari pendapatan dan prilaku masyarakat ketika menggunakan minyak tanah dan LPG. Prilaku atau fenomena pemakaian bahan bakar di kalangan masyarakat yang menggunakan minyak tanah adalah dengan pendapatan sehari-hari masyarakat. Dari 211 responden atau 13.3 % yang menolak kebijakan tersebut dikarenakan setiap harinya masyarakat berpenghasilan Rp10.000-Rp 20.000. dari penghasilan itu akan digunakan untuk memasak dan keperluan seahri-hari bagi anggota keluarganya termasuk uang saku anak dan biaya sekolah anak.

Dengan berpenghasilan sebesar di atas, apakah nantinya masyarakat masih bisa memasak apabila bahan bakar untuk rumah tangga akan diganti dengan LPG. Apabila masyarakat masih menggunakan minyak tanah ada beberapa alasan karena dengan uang Rp 2.000 sudah bisa membeli minyak tanah dan terjangkau oleh masyarakat bawah yang berpenghasilan dibawah Rp. 20.000.

Masalah yang lain yang perlu diperhatikan adalah masih banyaknya masyarakat tidak bisa menggunakan dan mengoperasikan dengan LPG. Sehingga anggapan keamanan merupakan salah satu faktor bahwa masyarakat belum siap untuk mengalihkan atau mengganti bahan bakar dari minyak tanah menjadi LPG.

Karena bahan bakar merupakan salah satu dari kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia maka fenomena yang ada di masyarakat dan kebijakan pemerintah mengenai konversi minyak tanah ini sudah disetujui maka perlulah diadakan kajian ulang tentang kebijakan ini sehingga tidak menyisihkan dan malah menambah keterpurukan dan beban sosial yang nantinya akan diemban oleh masyarakat bawah.

Bila dikaji menurut pendapat Maslow tentang hirarki kebutuhan dasar dengan fenomena penolakan terhadap konversi minyak tanah ini dapat diambil benang merahnya yakni tidak adanya bagi masyarakat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi sebelum kebutuhan yang paling utama dan paling mendasar belum terpenuhi.
Teori di atas setidaknya menjadi acuan bagi pemerintah sebagai pembuat produk kebijakan apakah konversi minyak tanah sudah layak diterapkan apakah sudah siapkah masyarakat terutama masyarakat yang masih memakai dan menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar di rumah.

Masyarakat di kota Malang khususnya belum semuanya mampu dan siap dalam menghadapi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG yang segera dilaksanakan. Di kota Malang jumlah keluarga miskin mencapai 22,5 % ( 177.814 jiwa) atau sekitar 24.429 KK dari total warga 789.348 jiwa (http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=293477(21-06-07). Jumlah tersebut banyak tersebar di kecamatan Kedungkandang dan Sukun serta sebagian di dalam perkotaan, ironisnya lagi bahwa konversi minyak tanah ke LPG menafikkan kondisi masyarakat kota Malang khususnya.

Staf Lab. Ilmu Kesejahteraan Sosial Unmuh Malang

KORUPTOR PELANGGAR HAM

(MALANG CORUPTION WATCH)
Per. Tatasurya Jl. Neptunus No.13

Ibarat penyakit, kejahatan korupsi telah menjadi sangat akut dan hanya dengan partisipasi semua lapisan masyarakat dan kerja keraslah, kita akan bisa memberantasnya. Selama ini, lembaga negara (birokrasi) dianggap sebagai pusat terjadinya kejahatan korupsi. Hal tersebut wajar sebagai lembaga yang memiliki fungsi kekuasaan negara, yang semestinya berfungsi sebagai media pengontrol kekuasaan secara akuntable kepada publik, namun sebaliknya semakin menyuburkan dan bahkan melegitimasi tindak korupsi seperti saat ini.
Kenyataan terjadinya kejahatan korupsi saat ini bukan hanya di birokrasi pemerintahan melainkan juga terjadi secara masif dilembaga legislatif (DPRD) yang merupakan satu-satunya saluran resmi yang dimiliki masyarakat, Selain itu, kejahatan korupsi telah terjadi secara melembaga di lembaga penegakan hukum.

kejahatan korupsi telah terjadi dihampir semua lembaga penyelenggara negara pusat maupun di daerah namun anehnya para pejabat publik yang sering melakukan kejahatan korupsi itu sudah tidak mempunyai lagi perasaan malu dan berdosa.

Hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia dirampas begitu saja; hak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupan, hak mendapat kesejahteraan lahir dan batin, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum dan hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kesemuanya itu merupakan hak asasi manusia yang seharusnya tidak bisa dilanggar dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.
Karena itu setiap perbuatan yang melanggar hak dasar seperti disebutkan diatas merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia (HAM) termasuk mengkorup (mencuri) uang negara yang semua itu dari kerja keras rakyat. tetapi kini tak bisa dibayangkan, betapa hak dasar rakyat itu telah dilanggar begitu saja tanpa merasa malu.

oleh karena itu kami atas nama Malang Coruption Watch mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat untuk bersama memberantas korupsi dan menyatakan bahwa KORUPTOR ADALAH PELANGGAR HAM ....!

Pelanggar HAM
Musuh Rakyat


AWAS...! KORUPTOR MANUSIA BERBAHAYA

Senin, 22 Desember 2008

JARINGAN AKSI UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PUBLIK

PRESS RELEASE

Menggeliatnya kasus korupsi diberbagai daerah memang sangat menyesakkan, sebab dampak yang ditimbulkan dari kasus ini semakin menjerumuskan kondisi bangsa ini ke jurang kehancuran. Sedikit kabar gembira bahwa di hampir semua daerah di Jawa Timur, satu demi satu kasus korupsi telah terungkap. Ada yang baru tahap penyelidikan, dan tidak sedikit yang sudah pada proses hukum dipengadilan—bahkan di beberapa daerah sudah diputus bersalah dan dijebloskan ke penjara.Meski begitu, masih banyak penanganan kasus tersebut seolah berputar-putar sejak kali pertama terungkap. Sebut saja di Kota Malang. Kasus korupsi DPRD senilai 2,1 M dengan tersangka mantan Ketua DPRD periode 1999-2004. Terhitung sejak tahun 2000 sampai sekarang, proses hukum yang berjalan baru tahap persidangan di pengadilan. Itupun setelah mengalami penundaaan pelimbahan berkas perkara dari kejaksaaan ke Pengadilan sebanyak delapan kali.
Sedangkan di Kabupaten Blitar, nilai korupsi APBD tahun 2003 senilai 7,4 M dan tahun 2004 sebesar 24,5 M—perkembangan terakhir menyebutkan angkanya sudah membengkak mencapai 63 M. Pun demikian di Jember, Tuban, Bojonegoro, Lamongan, Gresik dan beberapa daerah lain. Celakanya, hal ini tidak dibarengi dengan keseriusan para penegak hukum. Membludaknya temuan penyimpangan anggaran sangat terkesan hanya mengejar program 100 hari pemerintahan SBY, menjadi tren semata. Pertanyaaannya adalah seberapa lama tren itu akan bertahan? Alih-alih mengusut dengan serius, yang terjadi justru para pelaku korupsi melakukan gugatan balik dengan dalih mencemarkan nama baik. Meskipun sudah ada surat edaran dari Kapolri yang menyatakan bahwa menanganan kasus gugatan balik tidakakan dilayani sebelum kasus dugaan korupsi mengalami kejelasan. Untuk itulah, kami yang tergabung dalam Jaringan Aksi untuk Transparansi Anggaran Publik Jawa Timur menyatakan sikap:

1.Menuntut keseriusan para penegak hukum dalam mengusut kasus-kasus korupsi di daerah.
2.Menuntut pemerintah daerah untuk membuka akses publik seluas-luasnya, baik dalam hal memperoleh informasi maupun mendapatkan pelayanan dan hak-haknya.
3.Menyerukan kepada semua lapisan masyarakat bahwa korupsi sama dengan maling yang sangat merugikan segala aspek kehidupan berbangsa.
4.Mengajak elemen-elemen masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengawasan terrhadap segala bentuk penyimpangan di daerahnya masing-masing.
5.Menjadikan korupsi sebagai musuh bersama.

Batu, 7 April 2005

PERNYATAAN PERS JARINGAN AKSI ANTI-KORUPSI JATIM

SBY-JK Gagal Memberantas Korupsi di Jawa Timur

Pemerintahan SBY-Kalla yang mengusung perubahan dalam negeri ini belum menampakkan hasilnya secara nyata. Hal ini terbukti, ketika kita merlihat realitas politik lokal menunjukkan bahwa persoalan korupsi tetap subur dilakukan oleh pejabat negara. Realitas ini semakin mengukuhkan bahwa rezim SBY-JK tidak serius dalam pemberantasan korupsi.
Janji 100 hari SBY-JK dalam pemberantasan korupsi hanya menjadi agenda belaka, akan tetapi secara praksisnya para koruptor di daerah sampai saat ini belum ditangani secara serius. karena, transaksi politik-hukum tak bisa dihindari, aparat penegak hukum yang menjadi aktor dominan dalam proses pemberantasan korupsi justru menjadi pelaku utama dalam praktek korupsi.
Sesuatu yang mustahil, mengadili koruptor sementara lembaga penegak hukumnya justru memiliki mental yang korup pula. Maka, pemberantasan korupsi hanya selalu menjadi agenda bagi lembaga pemberantasan korupsi. Dan hasilnya sampai detik ini belum nampak secara nyata.
Sudah menjadi kenyataan yang amat buruk bagi citra bangsa Indonesia saat ini, hasil penelitian Transparency Internasional Indonesia mencatat bahwa negara ini menjadi negara terkorup dari 133 negara. Jakarta merupakan Kota paling korup, sementara disusul oleh Kota-kota besar lainnya; seperti Kota Surabaya, Semarang Medan dan Batam (kompas,28 /03/05)
Rezim SBY-JK tidak mampu merubah wajah bangsa ini menjadi lebih baik. Bahkan perilaku korup merajelela di daerah, seolah perilaku korup pejabat negara tak mampu kita bendung. berbagai cara yang dilakukan oleh teman-teman aktifis untuk melawan korupsi ternyata banyak mengalami hambatan, hal ini terjadi karena lembaga penegak hukum tidak merespon positif terhadap isu pemberantasan kosupsi, karena mereka juga menjadi bagian dari koruptor .
Jawa Timur sebagai salah satu daerah di Indonesia yang tingkat korupsinya juga tinggi, ternyata dalam 100 hari SBY-JK telah gagal melakukan perubahan dan membawa bangsa ini menjadi lebih bermoral dan mermartabat. Sehingga kami dari Jaringan Aksi Anti-korupsi Jatim menilai bahwa :
1.SBY-JK gagal memberantas Korupsi di Daerah Jawa Timur
2.Aparat penegak hukum seperti kepolisian, Jaksa dan Hakim, lebih tunduk kepada kaum pemodal ( God Father) yang korup
3.Koruptor masih berlindung dan dilindungi dalam Ketiak aparat penegak hukum.
4.Jaringan Aksi Anti-korupsi Jatim akan melakukan monitoring terhadap proses pelaksanaan Pilkada yang akan berlangsung.
Demikian pernyataan Jaringan Aksi Anti-korupsi Jatim, yang disampaikan dalam acara Regional Meeting Jaringan Aksi Anti-korupsi Jatim.

Batu, 7 April 2005

Kamis, 18 Desember 2008

PARTAI POLITIK LOKAL AKANKAH MENYERAP ASPIRASI MASYARAKAT LOKAL?

Penulis: Marwani
(Mahasiswi Magister Manajemen PPs UHAMKA)
 
Apa Bedanya Asosiasi Masyarakat Bersinergi dengan  Partai Politik Nasional?
Potret Indonesia yang menantikan perubahan, dengan munculnya berbagai alternatif dari masyarakat namun perlu kajian yang mendalam karena tidak ada jaminan untuk mencapai kepuasan masyarakat terhadap perbaikan nasib bangsa Indonesia. Salah satu alternatif yaitu keinginan masyarakat lokal mendirikan Parpol (Partai Politik) Lokal dengan harapan aspirasi masyarakat lokal dapat diakomodir[1]. Keinginan tersebut, apakah ada hubunganya dengan  kinerja anggota parlemen sebagai wakil rakyat? dalam artian “mewakili aspirasi masyarakat daerah pemilihan masing-masing”.  Anggota Parlemen yang nota bene mendapat mandat secara langsung dari masyarakat lewat pemilu (pemilihan umum) maupun yang menyatakan secara asosiasi lewat statement asosiasi tertentu, namun realitasnya kebijakan yang diputuskan oleh anggota parlemen tidak sesuai dengan harapan rakyat.
Fungsi parlemen sebagai regulator, kenapa bukan ini yang dipersoalkan oleh masyarakat? Karena tanpa kritis masyarakat terhadap fungsi parlemen yang tidak efektif dan efesien, maka anggota parlemen tidak merasa bersalah sehingga beban amanat untuk mengakomodir  aspirasi masyarakat terlupakan begitu saja dan tanpa dosa politik. Atau ada kegembiraan dari para elit politik di senayan ketika issue partai politik lokal ini akan di bahas Undang-undangnya, karena masyarakat melupakan agenda pembangunan yang tinggal kurang lebih satu setengah (± 1 ½) tahun lagi.  Pembangunan yang riil untuk kepentingan masyarakat terabaikan oleh persiapan pemilu, yang semestinya dibahas DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) oleh fraksi tertentu, institusi  pemerintah tertentu  dan lembaga independen KPU (Komisi Pemilihan Umum), tapi kelihatannya issue persiapan pemilu menjadi ajang kesibukan dari para elit politik sekarang ini, dampaknya sangat jelas dirasakan oleh masyarakat dengan kenaikan harga BBM dan sulitnya untuk mendapatkan BBM diberbagai tempat, begitu pula dengan harga  kebutuhan pokok yang lain semakin melonjak.
Kemana para elit politik di parlemen? Apa yang dihasilkan dari research yang dilakukan setiap tiga bulan sekali? Apakah kinerja anggota parlemen tidak berkorelasi positif terhadap pembangunan, sehingga tidak terjadi efisien anggaran, tapi in-efesiensi. Betapa kompleksnya persoalan bangsa ini, sehingga para pejabat daerah (Bupati)  se-Indonesia pun hanya tertidur dihadapan pertemuan dengan Presiden RI (Bp. Susilo Bambang Yudoyono), atau mereka tidak mau pusing-pusing berpikir lagi untuk kepentingan masyarakat. Yang seharusnya pada pertemuan tersebut mendengarkan harapan dari Presiden RI yang sisa masa jabatannya tinggal ± 1 ½ tahun lagi dan sekaligus menjadi evaluasi untuk perbaikan di masa yang akan datang, Walaupun seharusnya melakukan evaluasi adalah lembaga pengawas yang bersifat independen misalnya BPK (Badan Pengawas Keuangan) dan BPKP  (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) yang sangat terkait dengan realisasi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Misalnya, badan pengawasan yang telah dibentuk oleh pemerintah, dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini[2]
 
BPKP inilah yang melaporkan kepada wakil presiden seberapa jauh tingkat keberhasilan realisasi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), apakah sudah sesuai dengan rencana atau terjadi penyimpangan  dari rencana APBN yang disalurkan kedaerah setiap tahun. Dengan demikian manajemen pengawasan berjalan lewat jalur formal yang memang berfungsi mengawasi dan mengevaluasi tingkat keberhasilan pembangunan, sehingga ada kesinambungan informasi dari hasil research yang telah dilakukan oleh anggota DPR di daerah pemilihannya masing-masing. Dengan demikian Pemerintah dapat menyusun kebijakan berdasarkan informasi dari bawah dan DPR RI dapat memutuskan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Partai Politik Lokal  tidak jauh berbeda dengan asosiasi petani, pedagang kaki lima (PKL), nelayan, sopir angkot, ormas (Organisasi Masyarakat) yang begitu banyak macamnya, Serikat Pekerja dan lain-lain. Jika Undang - undang Partai Politik Lokal itu ada, maka mereka itulah yang akan muncul sebagai partai politik lokal yang memperjuangkan aspirasi kelompoknya masing-masing. Padahal asosiasi di masyarakat telah memberikan statemen dukungan kepada satu partai atau calon pimpinan (Calon kepala negara, legislatif dan kepala daerah) dan itu dapat kita lihat pada saat menjelang Pemilu berlangsung. Jadi, penulis melihat solusi persoalan ini, yaitu hendaknya kesadaran para elit politik agar kembali bersuah dengan  masyarakat daerah pemilihannya lalu mendengarkan aspirasi mereka, dan di parlemen memperkuat regulasi yang berpihak kepada kepentingan masyarakat bawah.
Revolusi Tandingan
Keinginan masyarakat mendirikan partai politik lokal di Indonesia di luar Propinsi Nangro Aceh Darussalam (ada kekhususan yaitu konflik yang berkepanjangan), ada kemiripan dengan kecendrungan teoritis   baru, yang muncul pada tahun 1970-an, dan menempati posisi dominan sepanjang 1980-an, dengan tepat diistilahkan sebagai ”revolusi tandingan terjadinya revolusi tandingan dalam teori dan kebijakan pembangunan.   Menurut Bjorn    Hettne, bahwa:
Revolusi tandingan dalam teori dan praksis harus dipahami dengan latar belakang gelombang neoliberal anti-Keynesian yang umum di Barat dan munculnya ideologi  pasar di Timur. Jadi revolusi tandingan merupakan bagian dari perubahan iklim politik yang mempengaruhi  ekonomi maupun  politik  domestik di negara industri dan hubungan Erofa-Selatan.[3]
Partai Politik Lokal akan menjadi lembaga tandingan dari partai Nasional yang ujung-ujungnya menyatakan akan memperjuangkan aspirasi kelompoknya, dalam artian perbaikan ekonomi masyarakat grass root sebagai pekerja riil yang tadinya mendukung partai nasionalis, namun tidak kesampaian aspirasinya di lembaga parlemen saat ini.
Masih pendapat Bjorn Hettne, mengatakan bahwa:
Pada tingkat yang lebih dalam, revolusi tandingan menentang dan menolak kompleks rasa bersalah Barat yang ada dibalik sosok ”Orang-orang Dunia Ketiga”, sangat khas dalam teori keterbelakangan baik yang reformis maupun radikal. Negara miskin menjadi miskin karena kekeliruan manajemen. Sebagaimana dicatat oleh Toye, ”pandangan cemerlang pada 1980-an adalah pandangan terhadap dunia yang sedang mengembangkan sumber daya  dan kemampuannya semata-mata sebagai jawaban terhadap naik-turunnya harga dan ketidakmampuan pemerintah”  (Toye 1987a:viii). Revolusi tandingan menolak ”pembatasan hal khusus” dan menghendaki penyatuan teori maupun kebijakan, yakni penyatuan pendekatan ortodoks.[4]
Pandangan di atas, sangat identik dengan apa yang terjadi di Indonesia tercinta ini, harapan masyarakat kurang lebih sama dengan yang digambarkan oleh Bjorn Hettne, bahwa tujuan mereka adalah memperbaiki keyakinan pada mekanisme pasar dan kebijakan perdagangan bebas, argumen mereka dalam menggambarkan kesalahan, distorsi, gaya hidup mewah, dan korupsi yang begitu jelas dalam pembangunan selama dua atau tiga dekade yang lalu.[5]  Begitu pula di Indonesia ini, selama Orde Baru lalu datang era Reformasi, namun realitas pembangunan masih jauh dari harapan masyarakat. Mekanisme pasar yang semakin buruk dan regulasi yang masih simpang siur di mana-mana.[5]
Ada keprihatinan yang lebih dibandingkan apa yang diungkapkan oleh Bjorn Hettne, yaitu negara miskin menjadi miskin karena kekeliruan manajemen. Berbeda dengan Negara Indonesia ini,  negara kaya tapi miskin juga karena kekeliruan manajemen. Sehingga patut adanya jika masyarakat bawah bertanya:
1. Benarkah anggota parlemen menjalankan fungsinya sebagai regulator selama 3 ½  tahun yang lalu?
2. Dimana letak keadilan dalam sistem pemerintahan demokrasi bersembunyi?
3. Apakah mungkin ada alternatif lain sebagai solusi memparbaiki bangsa ini? 
Itulah yang memotivasi masyarakat untuk mendirikan Parpol Lokal.
Solusi alternatif dari sisa waktu masa kerja periode anggota parlemen saat ini, hendaknya dilakukan evaluasi  terhadap manjemen pengawasan oleh yudikatif dari apa yang telah dikerjakan oleh legislatif bersama eksekutif. Agar ada upaya perbaikan nasib bangsa ke depan, sehingga dengan demikian masih ada secercah harapan kehidupan yang cemerlang

PERIODEISASI KEPEMIMPINAN PP IMM

DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
DARI PERIODE Ke PERIODE
 
 
PERIODE 1965-1967 Hasil Munas/Muktamar I di Solo
Ketua Umum : Mohammad Djazman Al-Kindi (Alm)
Sekretaris Jenderal : Syamsu Udaya Nurdin
Bendahara : Zuhdi Djunaidi
 
PERIODE 1967-1970 Hasil Munas/Muktamar II di Banjarmasin
Ketua Umum : Mohammad Djazman Al-Kindi (Alm)
Sekretaris Jenderal : Bahransyah Usman (Alm)
Bendahara Umum : Abuseri Dimjati
 
PERIODE 1971-1974 Hasil Munas/Muktamar III di Yogyakarta
Ketua Umum : A. Rosyad Saleh
Sekretaris Jenderal : Machnun Husein
Bendahara Umum : Mawardi Abbas
 
PERIODE 1975-1978 Hasil Muktamar IV di Semarang
Ketua Umum : Zulkabir.
Sekretaris Jenderal : M. Alfian Darmawan
Bendahara Umum : M. Alfian Darmawan (ad-interim)
 
PERIODE 1985-1986 DPPs
Ketua Umum : Immawan Wahyudi
Sekretaris Jenderal : M. Arifin Nawawi
Bendahara I : St. Daulah Khoiriati
 
PERIODE 1986-1989 Hasil Muktamar V di Padang
Ketua Umum : Nizam Burhanudin SH
Sekretaris Jenderal : M. Arifin Nawawi
Bendahara Umum : Chandrawati Arifin
 
PERIODE 1989-1992 Hasil Muktamar VI di Ujung Pandang
Ketua Umum : Agus Syamsuddin
Sekretaris Jenderal : Ahmad Haser
Bendahara Umum : (belum terindentifikasi)
PERIODE 1992-1995 Hasil Muktamar VII di Purwokerto
Ketua Umum : Tatang Sutahyar
Sekretaris Jenderal : Syahril Syah
Bendahara Umum : (belum terindentifikasi)
PERIODE 1995-1997 Hasil Muktamar VIII di Kendari
Ketua Umum : Syahril Syah
Sekretaris Jenderal : Abdul Rohim Ghazali
Bendahara Umum : Gusnul Alfian
PERIODE 1997-1999 Hasil Muktamar IX di Medan
Ketua Umum : Irwan Baadila
Sekretaris Jenderal : M. Irfan Islami Dj.
Bendahara Umum : Riki Ikrimal
 
PERIODE 1999- 2001 Hasil Muktamar Luar Biasa di Jakarta
Ketua Umum : Gunawan Hidayat
Sekretaris Jenderal : Yusuf Warsyim
Bendahara Umum : Imal Isti’mal Al Bantani
 
PERIODE 2001-2003 Hasil Muktamar X di Palembang
Ketua Umum : Piet Hizbullah Khaidir
Sekretaris Jenderal : Endy Sjaiful Alim
Bendahara Umum : Yayat Suyatna
 
PERIODE 2003-2006 Hasil Muktamar XI di Bali
Ketua Umum : Ahmad Rofiq
Sekretaris Jenderal : Budi Santoso
Bendahara Umum : Hendri Kurniawan
 
PERIODE 2006-2008 Hasil Muktamar XII di Ambon
Ketua Umum : Amiruddin
Sekretaris Jenderal : Siar Anggretta Siagian
Bendahara Umum : M. Husin AB
 
PERIODE 2008-2010 Hasil Muktamar XIII di Bandar Lampung.
Ketua Umum : Rusli Halim Fadli
Sekretaris Jenderal : Ton Abdillah Has
Bendahara Umum : Azis Abdul Azis Anshari 
 

REKOMENDASI MUKTAMAR IMM

1.       IMM hendaknya tetap mempertahankan gerakannya berlandaskan trikompetensi: keilmuan, keagamaan dan kemasyarakatan. Kesanggupan hidup dalam setiap perubahan menuntut setiap kader dan pimpinan IMM mampu menafsir trikompetensi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman.
2.       Setiap kader IMM hendaknya terus mengembangkan nilai-nilai kritis, progresif dan kepeloporan; menjadikan IMM sebagai laboratorium gerakan bagi seluruh kader ikatan dengan mengembangkan teologi pembebasan: anti-ketidakadilan, anti-penindasan dan anti-penjarahan. Agar kader IMM memiliki kemampuan kritis dan praksis dalam arah gerakan, maka setiap hirarkis struktur kepemimpinan IMM dari PC, DPD dan DPP hendaknya mengembangkan pelatihan advokasi, analisis sosial dan analisa kebijakan publik.
3.       Atas kelesuan dan mandulnya gerakan mahasiswa (student movement) untuk mengkritisi setiap kebijakan publik yang dibuat eksekutif, legislatif, yudikatif dan lembaga negara yang lain maka IMM harus segera mengambil inisiatif untuk mempelopori kembali gerakan mahasiswa sebagai kontrol moral dan kontrol sosial.
4.       Untuk menjaga moralitas bangsa dan komitmen ke-Indonesiaan, IMM harus terus mengajak seluruh komponen bangsa dan mempelopori aliansi-aliansi organ kepemudaan dan kemahasiswaan untuk bersama-sama menyelamatkan Indonesia dari ancaman: kapitalisme global, neo-imperialisme, neo-liberalisme dan neo-komunisme. IMM harus tetap mempertahankan citra diri gerakannya sebagai gerakan moral, melawan segala bentuk pembusukan moral bangsa, seperti: politik uang, korupsi dan manipulasi.
5.       Mewabahnya gerakan infiltrasi yang dilakukan sebuah omek atau partai politik tertentu dalam kehidupan organisasi kemahasiswaan yang mengakibatkan dualisme posisi kekaderan IMM (sebagai kader IMM dan kader omek tertentu), maka seluruh PC IMM harus segera melakukan pemetaan dan penertiban kader.
6.       Menyikapi berbagai masalah kehidupan IMM di PTM, maka perlu ditegaskan kembali bahwa IMM adalah satu-satunya organisasi ekstra yang hidup dalam PTM atas posisinya sebagai ortom (organisasi otonom), dan Rektor/Ketua PTM bertanggung jawab atas pembinaan dan penyediaan fasilitas IMM di PTM. Disamping itu, minimnya fasilitas yang dimiliki komisariat dan korkom diluar PTM, maka hendaknya PTM memberikan kontribusi atas keberadaan komisariat dan korkom, baik berbasis PTN maupun PTS lain dalam satu kota di tempat PTM berada. Untuk kebutuhan hal tersebut, perlu dibuat struktur baru dalam bidang di DPP IMM, yakni Lembaga Khusus Perguruan Tinggi.
      Fungsi Badan Khusus Perguruan Tinggi adalah: (1) melakukan pemantauan dan pembinaan IMM berbasis komisariat dan korkom; (2) memfasilitasi pertemuan korkom nasional; (3) mendorong lahirnya IMM di luar PTM; (4) berkoordinasi dengan DIKTI dan PTM untuk mengembangkan IMM; serta (5) melakukan pemantuan dan pemetaan terhadap kehidupan politik kampus.
7.       Untuk menyegarkan gerakan spiritualitas IMM dan menggembirakan kembali gerakan dakwah kampus, maka IMM harus mendorong struktur baru dalam sebuah bidang, yakni Bidang Dakwah.
      Fungsi Bidang Dakwah diantaranya: (1) menggembirakan gerakan spiritual dan moral di lingkungan kampus; (2) menjadikan masjid dan taman kampus sebagai sarana untuk menyegarkan kajian-kajian ke-Islaman; (3) menghadang gerakan pendangkalan moral dan aqidah oleh kelompok-kelompok tertentu; (4) mensyiarkan IMM sebagai gerakan moral-intelektual; serta (5) mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam yang damai dan bersahabat.

Di Balik Pembatalan Laptop

Oleh: A.Rahmat

Pada pernyataan sebelumnya, ketua DPR menjelaskan bahwa pengadaan laptop sudah disepakati oleh seluruh fraksi. Proyek ini diadakan demi efektivitas kinerja anggota dewan. Hal ini diungkapkan ketika banyak pihak yang mengkritisi keputusan ini.
Akan tetapi, keputusan ini dibatalkan melalui hasil rapat lebih lanjut. Polemik ini menjadi sebuah tanda tanya, apakah kita bersyukur atau semakin heran? Artinya, ada sebuah “kebanggaan” ketika masyarakat menolak sebab keputusan ini dibatalkan. Tetapi, menjadi sebuah polemik juga, kenapa keputusan pembatalan ini cepat sekali dilakukan.
Disadari atau tidak, tentu keputusan ini harus dicermati dan dikritisi lagi. Bukan sebagai uforia bagi masyarakat karena tuntutuannya lolos. Pertama ada indikasi bahwa DPR mencoba untuk ‘memperbaiki’ kinerja dan perspektif masyarakat terhadap keberadaan dan fungsi DPR. dalam artian bahwa diharapkan akan muncul penilaian yang positif terhadap kebijakan dewan.
Indikasi ini pada dasarnya masih bisa berlaku. Sebab, penilaian masyarakat belum seutuhnya terarah pada proses kritis. Masih dalam pemahaman yang berada pada tataran permukaan saja. Seperti halnya pemilu, penilaian masyarakat terhadap calon belum terarah pada seluk-beluk calon. Tetapi calon mana yang populer maka kemungkinan untuk menduduki tahta kekuasaan akan semakin besar.
Tidak bisa dinafikkan, bahwa kondisi masyarakat sekarang ini adalah masyarakat yang konsumtif dan apatis. Mereka cepat sekali meresap ‘sajian’ yang ditampilkan oleh media, sehingga ketika media mampu mengemas dengan bagus, pasti akan disantap oleh masyarakat. Sehingga ketika pro-kontra pengadaan laptop mencuak, maka DPR mulai mengkaji hal ini lebih dalam. Indikasi ini pada dasarnya dianalisa pada kondisi masyarakat kita.
Kedua adanya pengalihan isu. Analisa ini tidak terlepas dari banyaknya kebijakan yang ditentang tapi mampu ‘diatasi’ akibat dari pengalihan isu. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM dengan pergolakan masyarakat yang kuat, kemudian ditutupi dengan kasus blok Ambalat. Kehadiran problem Ambalat ini begitu kuat ditataran masyarakat.
Melalui pemberitaan media yang begitu kuat, muncul aksi-aksi untuk ganyang Malaysia. Frekuensi pemberitaan ambalat dengan aksi penolakan BBM sangat jauh. Artinya, keberadaan aksi penolakan BBM ini mampu dikalahkan oleh pemberitaan kasus Ambalat. Imbasnya adalah hilangnya isu BBM dan semakin mulusnya kebijakan kenaikan BBM oleh pemerintah. Nampaknya, pemerintah begitu cerdas dalam menggunakan media massa.
Ketiga adalah lemahnya DPR dalam menganalisa berbagai kebijakan. Disadari atau tidak, kebijakan ini adalah hasil kesepakatan oleh seluruh fraksi di DPR. Itu artinya, melalui sebuah proses yang demokrasi dan legitimate. Sehingga seharusnya kebijakan ini mampu dipertahankan oleh DPR. Akan tetapi, melihat keputusan ini, nampaknya ada sesuatu yang tidak beres di DPR.
Sejatinya, sebagai lembaga legislatif, DPR seharusnya membuat produk kebijakan yang komprehensif. Artinya, dalam proses kerja DPR adalah lebih ditujukan pada pengambilan kebijakan selain kontrol terhadap pemerintah. Kebijakan yang diambil oleh lembaga legislatif harus melalui proses input dari masyarakat.
Dalam sistem politik, kebijakan yang diambil bersumber dari input yaitu berupa tuntutan, kepentingan dan dukungan. Point ini kemudian diolah dalam sistem pemerintahan, termasuk legislatif sebagai salah satu lembaga pengambil kebijakan. Hasil pengolahan kebijakan ini kemudian dijadikan output sebagai bentuk apresiasi terhadap input dari masyarakat tadi.
Tentunya, proses ini tidak serta merta berjalan dengan mulus dan tanpa sebuah i’tikad baik. Pada taraf input, prosesnya beragam, mulai dari aksi demonstrasi hingga berbagai wadah lainnya termasuk melalui partai politik dan LSM. Berikutnya, adalah pengolahan dari input yang telah ada.
Jika dikontekskan pada kondisi saat sekarang, proses pengolahan ini akan lebih rumit dan butuh kejelian. Artinya dengan banyaknya masalah yang ada, tentu harus ada prioritas utama. Hal inilah yang hampir tidak ada dalam planning anggota dewan. Keputusan pengadaan laptop yang sudah disepakati (walau dicabut) adalah bukti bahwa tidak ada kebijakan prioritas. Padahal banyak kasus yang membutuhkan perbaikan dalam sistem kenegaraan kita.
Maka dari itu, kinerja yang ada dalam DPR sekarang ini pada dasarnya belum menunjukkan kualitas sebagai pengambil kebijakan. Sehingga, sistem politik yang dibangun pada taraf yang lebih urgen, belum terlaksana dengan baik. Permasalahan yang terjadi dalam bangsa ini adalah masih terlalu kuatnya kepentingan partai/ golongan.
Hampir setiap periode kepemimpinan bangsa dalam pengambilan keputusan oleh eksekutif, sikap pro-kontra yang muncul adalah kedua kelompok kepentingan ini. Sehingga perdebatan yang terjadi bukan lagi melihat kondisi masyarakat, tapi lebih condong pada ‘siapa yang ada di eksekutif’. Frase proses input inilah yang seharusnya dibenahi dalam sistem ini. Karena akan berdampak pada output yang nantinya dirasakan oleh masyarakat.
Memaknai fungsi pemerintah
Ketika Montesque mencetuskan trias politica, maka muncul lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif yang kemudian melebur menjadi pemerintah. Sehingga pada dasarnya, pemerintah adalah ketiga unsur ini yang kemudian diharapkan adanya sinergisitas dalam menjalankan tujuan negara.
Negara dibentuk adalah atas dasar kesepakatan sosial dalam sebuah wilayah. Pada proses selanjutnya, maka dibutuhkan struktur untuk menjalankan keinginan sosial yang kemudian disebut pemerintah. Sehingga, secara sederhana dapat dipahami bahwa pemerintah adalah perwujudan yang lebih sederhana dari konsensus sosial tersebut.
Teori ini nampaknya telah dibalik di Indonesia. Paradigma yang selama ini muncul adalah pejabat pemerintah seakan menjadi raja. Padahal sejatinya pemerintah adalah pelayan dalam masyarakat. Indikator pelayanan yang memuaskan adalah ketika masyarakat benar-benar merasakan keberadaan mereka.
Bertolak pada pemahaman ini, seharusnya ada good will dari pemerintah selaku pengambil kebijakan terhadap kepentingan masyarakat. Kebijakan yang tanpa analisa mendalam adalah sebuah kesalahan yang fatal. Pembelajaran bukan hanya pada masyarakat tapi juga terhadap anggota dewan. Tidak semuanya paham dengan sistem pemerintahan. Sehingga ketika pengambil kebijakan tidak paham, maka keputusan yang diambil juga tidak mengena.

Tukulista ala DPR

Oleh: A. Rahmat


Proyek pengadaan alat kerja elektronik berupa 550 laptop senilai Rp 13,99 milyar hanya pantas menjadi sebuah ‘guyonan’ legislatif. Semua serba irasional, baik dari segi penempatan harga hingga urgensitas peralatan tersebut.
Seperti yang dilansir Jawa Pos (24/03), terdapat 550 laptop anggota DPR senilai 13,99 milyar, 2 scanner senilai Rp 300 juta, 70 laptop untuk setjen DPR senilai Rp 1,54 milyar. Selain itu, 85 unit PC senilai Rp 1,275 milyar, 4 unit server Rp 1,738 milyar, pembuatan aplikasi Rp 250 juta, desain teknologi informasi Rp 500 juta dan jaringan internet wifi senilai Rp 1,399 milyar.
Jumlah dana sebesar ini seharusnya ada penilaian objektif. Pertama tentu pengeluaran dari legislatif harus dikomparasikan dengan kondisi konstituen yang ada. Bagaimanapun juga, lembaga legislatif harus memiliki nilai-nilai kesakralan. Tetapi,melihat kasus ini nampaknya kesakralan tersebut sudah hilang.
Jika melihat kondisi konstituen (masyarakat), tentu budget sebesar ini terlalu sombong dan tidak humanis. Sebab, masyarakat dihadapkan pada posisi yang sulit, baik dari segi ekonomi maupun sektor yang lain. Sehingga ketika budget sebesar ini muncul, sudah jelas akan menjadi perdebatan.
Kedua adalah anggaran yang tidak realistis. Jika diuraikan per-unit, maka laptop per-unit adalah Rp 22 juta. Harga sebesar ini nampaknya terlalu besar untuk ukuran sebuah laptop, atau mungkin anggota legislatif sendiri yang tidak tahu?. Besarnya anggaran ini sangat terlihat jelas adanya ketidak jelasan anggaran. Wajar jika ada penilaian seperti itu, karena sensitivitas kebijakan yang berkaitan denga ‘uang’ itu sangat tinggi.
Ketiga adalah unsur urgensitas. Ungkapan bahwa kebutuhan ini demi efektivitas kinerja, sebetulnya sulit untuk diterima publik. Kita flashback lagi dengan kenaikan gaji dan tunjangan melalui PP no.37 tahun 2006. Alasan utama yang menguak ketika itu adalah demi efektivitas kinerja. Akan tetapi, realitas yang terjadi apakah seperti demikian?.
Selain itu, alasan yang tidak rasional pula adalah laptop ini akan dijadikan inventaris DPR. Nampaknya, anggota DPR terlalu berpikir normatif. Susah dipercaya jika laptop akan mampu bertahan dengan jangka yang lama. Laptop harus dibedakan dengan komputer. Artinya, sensitivitas terhadap kerusakan laptop sangat tinggi dibandingkan komputer. Sehingga untuk inventaris, rasanya hanya berupa bahan bekas yang rusak. Sedangkan perkembangan teknologi meningkat hampir tiap menit.
Berkaitan dengan problem ini, nampaknya pemikiran yang terlalu normatif harus dihilangkan. Pengalaman yang dilakukan oleh KPU dengan pengadaan komputer adalah bukti bahwa ternyata pengadaan proyek alat elektronik tidak jelas. Tentunya, yang menjadi pertimbangan adalah apakah harus memakai laptop dengan kualitas dan teknologi yang sangat tinggi?. Maka dari itu, alasan yang logis tidak bisa ditemukan berkaitan dengan pengadaan alat elektronik ini.
Ketiga adalah dehumanisasi anggota legislatif. Ketika masyarakat mengalami kesulitan ekonomi lewat penggusuran dan bentuk serupa, keberadaan dana yang besar ini merupakan bentuk ‘pelecehan’. Tingkat humanitas yang dimiliki hanya berupa lisan saja, tapi belum nyata dalam tindakan. Mereka tanggap terhadap kondisi bencana alam maupun pengekangan terhadap masyarakat miskin. Tetapi, hanya berupa ucapan dan perdebatan yang tidak menemukan solusi yang cerdas.
Karl Marx pernah berkata bahwa para filsuf terlalu sibuk mendefinisikan tentang dunia,padahal yang terpenting adalah bagaimana merubahnya. Kalau ungkapan ini dikontekskan dengan DPR, sepertinya anggota DPR ini hanyalah sekelompok filsuf saja. Artinya, kebutuhan masyarakat sekarang ini adalah bukan pada wilayah argumentasi wacana, tapi pada tataran tindakan.
Pada dasarnya yang menjadi permasalahan global adalah berkaitan dengan kinerja dan fasilitas. Pemahaman sederhananya adalah kinerja harus beriringan dengan fasilitas. Problemnya terletak di sini. Kinerja dari DPR selama ini hampir tidak kelihatan dan bahkan mengecewakan. Dengan kinerja seperti ini, tidak heran jika muncul asumsi bahwa fasilitas ini tidak seharusnya dianggarkan.
Di mana peran partai
Keberadaan partai politik perlu dipertanyakan juga. Sebab, unsur-unsur yang ada di dalamnya adalah perwakilan partai. Tetapi, suara partai sejauh ini tidak ada. Ini artinya proyek ini telah direstui. Sehingga terlihat jelas bahwa konsentrasi partai nampaknya bukan pada pemberdayaan masyarakat, tapi kepentingan sesaat saja.
Tidak bisa dinafikkan jika yang terjadi saat ini adalah upaya sosialisasi partai. Penguatan dan perluasan basis massa menjadi agenda utama jelang pemilu. Padahal seharusnya memikirkan kondisi rakyat sekarang ini. Jargon mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan hanyalah sebuah ungkapan pemanis saja.
Sehingga bisa dikatakan bahwa kondisi partai sekarang ini sebenarnya belum layak disebut ‘partai’. Alasan yang paling pokok adalah tidak menjalankan fungsinya. Sama halnya dengan manusia, jika fungsinya tidak dijalankan, perlu dipertanyakan apakah dia masih hidup atau tidak. Keberadaan partai yang diharapkan membawa suara rakyat dengan penuh aspiratif ternyata tidak berjalan efektif.
Dalam perspektif dunia humor, tidak ada ketersinggungan karena diejek. Tayangan Empat Mata dengan gaya humor pun demikian, tidak ada ketersinggungan ketika Tukul sebagai host diejek. Sebab, semua itu hanyalah guyonan. Jargon “KEMBALI KE LAPTOP” hanya jargon untuk humor saja, bukan untuk di aplikasikan pada wilayah yang tidak sesuai, apalagi setingkat DPR.

Infotainment + Selebritis = Dilematis

Oleh: A.Rahmat

Seorang pemikir barat pernah mengungkapkan bahwa abad 21 ini merupakan era para selebritis. Pernyataan ini sekiranya bisa dijastifikasi. Dunia selebritis bukan hanya merambat media cetak, tapi bahkan elektronik pun semakin gencar.
Disadari atau tidak, hal ini menjadikan dunia selebritis semakin banyak diminati. Pemahaman umum yang muncul adalah jika ingin menjadi orang terkenal, masuklah dalam dunia selebritis. Pemahaman ini bukan sekedar jargon semata, tapi memang demikian faktanya.
Jika flashback lagi, julukan artis harus benar-benar orang yang sudah mapan dengan keartisannya. Sebuah pengakuan dari Anwar Faudi bahwa ketika mau dikatakan artis, maka harus bisa eksis cukup lama dalam dunia film/ sinetron. Hal ini diungkapkan ketika terjadi perselisihan kriteria seperti apa bagi seseorang untuk dikatakan sebagai artis.
Selebritis dan Infotainment
Ketika berbicara tentang selebritis, maka tidak lepas dari tayangan infotainment. Bila dikaitkan dengan fungsi media massa, maka tayangan infotainment sejatinya sudah termasuk. Pada awal merebaknya tayangan ini, tidak terlepas dari kondisi ketika itu. Kejenuhan terhadap situasi politik dan pemberitaan media, menjadikan tayangan ini sebagai alternatif pilihan.
Sebagai industri media, tentunya diuntungkan dengan respon masyarakat yang begitu besar. Sebab, dalam industri media di tanah air, belum menemukan format terbaiknya, masih sekedar untuk bisa bertahan hidup. Sehingga, ketika masyarakat memiliki apresiasi yang besar terhadap tayangan tersebut, maka kemasannya pun akan lebih baik lagi.
Keberadaan dan eksistensi selebritis, yang kemudian dijadikan publik figur, adalah konsekuensi logis dari maraknya tayangan infotainment. Bila Maria Eva (yang notebenenya artis) terkenal, maka bisa ditebak bahwa dari mana Maria Eva ini bisa dikenal? Suatu hal yang pasti adalah akibat pemberitaan infotainment. Sebelum kasusnya mencuat, nama Maria Eva sangat tidak terkenal. Tetapi, berkat tayangan infotainment, maka eksistensinya sebagai selebritis akan muncul juga.
Problem infotainment
Sebagai salah satu tayangan penyiaran, maka keberadaan infotainment seharusnya mampu dkontrol lewat aturan hukum (UU no.32/ 2002 tentang penyiaran). Kemudian, sebagai salah satu bagian pers, maka seharusnya juga dilandasi oleh UU pers no.40/ 1999 dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
Sebenarnya, ada dua problem utama pada tayangan ini. Pertama adalah persoalan regulasi penyiaran. Sejauh ini belum ada kepastian yang jelas tentang regulasi penyiaran di Indonesia. Perselisihan keberadaan UU No.32/ 2002 dan KPI masih menjadi polemik dalam dunia penyiaran tanah air. Ketakutan yang muncul adalah adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh KPI jika regulasi ini diserahkan. Apabila diserahkan ke pemerintah, maka trauma masa lalu tetap akan terus menghantui.
Imbas dari perselisihan ini adalah semakin kacaunya regulasi penyiaran di tanah air. Selain itu, semakin tidak terkontrolnya pengawasan tayangan televisi. Jika bercermin pada negara lain, mereka menerapkan Independent State Body yang kemudian diterjemahkan oleh bangsa kita sebagai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Seperti yang disebutkan dalam pasal 7 ayat 2 UU No.32/ 2002, maka posisi KPI bersifat netral, dan Independent State Body ini memang bertanggungjawab terhadap legislatif.
Tentu yang menjadi pertanyaan adalah di mana keberadaan KPI ketika masyarakat berteriak tentang tayangan televisi yang negatif. Sejauh ini, ternyata fungsi yang diperankan hanya sebatas pengontrol dan pengklasifikasi tayangan dan penyiaran. Akan tetapi, berkenaan dengan independensi dan wewenang yang labih, ternyata KPI tidak memperoleh hak tersebut.
Faktor kedua adalah berkenaan dengan era industrialisasi media. Disadari atau tidak, media massa di Indonesia masih dalam proses transisi, jadi belum sepenuhnya masuk pada era industrialisasi. Hal ini bisa dibuktikan ketika media yang diharapkan sebagai salah satu unsur pemberdaya masyarakat. Artinya, ada keseimbangan antara fungsi sebagai media komersil dan pendidikan.
Siapa yang salah?
Ini adalah pertanyaan yang sederhana, tapi memang sangat urgen. Ada sebagian pihak yang menyalahkan unsur medianya. Memang ada kelalaian yang dilakukan oleh media. Bagi media Indonesia, masih memiliki pemahaman bahwa media komunikasi hanya menyampaikan pesan tapi bukan makna. Artinya, media hanya menyodorkan tayangan yang ada, permasalahan diikuti atau tidak, itu terserah masyarakat.
Pada dasarnya, media massa memang berada pada pemahaman itu. Tetapi bukan berarti menafikkan unsur edukasi. Di Amerika, media massa tetap melakukan program media literacy (melek media) terhadap media ‘kuning’. Sementarai itu, hampir tidak ada yang dilakukan oleh media massa di Indonesia. Inilah sebenarnya kelalaian yang sangat fatal yang dilakukan oleh media massa di Indonesia.
Permasalahan ini tidak terlepas juga dari kebingungan media dalam memahami industrialisasi media. Sebenarnya media di Indonesia paham bahwa masyarakat kita masih pada taraf konsumtif, tanpa analisa. Sehingga, solusi yang efektif tentunya harus ada upaya dari media dalam melakukan melek media kepada masyarakat. Akan tetapi, upaya ini terhalang pada pemahaman bahwa media massa juga butuh sokongan dana.
Terlepas dari persoalan tersebut, tayangan infotainment tetap harus ada regulasi dan pemantauan yang jelas. Bukan berarti media harus berlindung pada kebebasan pers, tapi perlu ada aturan yang jelas. Hal ini diperlukan agar masyarakat juga mendapatkan pendidikan yang positif dari keberadaan media.

Syarat Capres S-1 sudah Objektif

Oleh: A.Rahmat

Berkaitan dengan usulan calon presiden harus minimal S1, harus kita lihat lebih bijak lagi. Persoalan ini memang berada di ruang politik, tapi bukan berarti harus diinterpretasikan sebagai kepentingan politik. Banyak hal yang perlu dicermati oleh komponen bangsa ini.
Dalam pemahaman demokrasi, banyak pihak menilai usulan ini sebagai upaya untuk menjegal salah satu calon. Karena memang ada uapaya pengajuan syarat yang menjadi salah satu kelemahan calon presiden mendatang. Namun, hal ini juga tidak adil jika kita berbicara pada tuntutan mengenai pendidikan bangsa.
Nampaknya, permasalahan ini semakin memperkuat bahwa kepentingan politik bangsa benar-benar hanya pada proses kekuasaan. Argumentasi dari saudara Joko Riyanto (Jawa Pos, 19/03) bahwa tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan kemampuan leadership, mungkin benar. Akan tetapi, itu adalah sebuah realita kecil.
Jika dikorelasikan dengan pendidikan kita sekarang ini, nampaknya hal ini dinafikkan. Banyak pihak menilai bahwa tingkatan S1 cenderung tidak demokratis. Tetapi, mengapa pemimpin bangsa ini mengharapkan masyarakat berpendidikan tinggi?. Ini artinya tidak ada contoh yang baik dalam bangsa ini.
Dalam konteks kepemimpinan, tidak bisa dinafikkan bahwa pemimpin adalah tauladan bagi umatnya. Nabi Muhammad dalam kepemimpinannya mampu menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia. Kemerdekaan bangsa ini karena masyarakat sudah dibenturkan pada dunia pendidikan.
Sependepat dengan yang diungkapkan oleh Amien Rais (Jawa Pos, 19/03) bahwa dalam dunia akademis dilatih menganalisis, mencari sintetis dan menemukan konklusi dari fenomena. Inilah yang kurang mendapat perhatian dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Permasalahan hanya dilihat pada tataran permukaan saja, sedangkan solusinya hanya bersifat sementara.
Sebagai contoh kasus impor beras. Seharusnya analisa persoalan ini adalah kondisi pertanian dalam negeri. Kenapa produktivitas pertanian menjadi kurang. Sedangkan solusinya hampir tidak ada. Kalau ini terus terjadi, percaya atau tidak, berbagai permasalahan tidak akan bisa menemukan titik solusi yang konstruktif.
Jadi, jika ada pemipin bangsa yang dengan lulusan S2 atau lebih dan ternyata tidak efektif, maka yang perlu diperhatikan adalah kualitas pendidikan. Semua pasti paham bagaimana kondisi pendidikan bangsa ini. Gelar bisa dibeli walau tidak menempuh jenjang pendidikan. Gelar doktor bahkan bisa didapat dan diberi oleh pihak tertentu yang hanya didasari oleh penilaian yang sepintas.
Pemimpin harus menjadi tauladan
Ditengah-tengah perjuangan bangsa dalam meningkatkan kualitas pendidikan, seharusnya hal ini dimulai dari kondisi pemimpinnya. Yang jelas, keberadaan seorang pemimpin pasti menjadi perhatian khusus bagi masyarakat. Jika memang permasalahan tingkat pendidikan minimal S1, seharusnya ini sudah paten. Sehingga pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan adalah mulai terbangun.
Kayaknya kita perlu menganalisa ulang mengapa kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Disadari atau tidak, tingkat pendidikan hanya dijadikan sebuah formalitas saja. Sehingga dalam hal penemuan dan pemahaman sebuah ilmu hampir tidak ada. Kondisi ini tentunya tidak bisa dibiarkan.
Selanjutnya adalah kultur generasi muda yang semakin apatis terhadap persoalan ini. Maka timbul sebuah pertanyaan besar, apa yang harus dilakukan?. Salah satunya tentu harus ada suri tauladan yang digawangi oleh pemipin bangsa ini. Contoh saja dijaman Rasul, yang mana ketika itu kehidupan umat yang masih berada pada jaman kegelapan.
Munculnya sebuah peradaban baru dengan etika dan moralitas yang kuat adalah karena kepemimpinan Rasulullah. Sehingga, masyarakat mampu mencontohi pemimpinnya dan pemimpin mampu menjadi tauladan bagi umatnya.
Dari hasil penelitian Almond dan Verba tentang budaya politik, terkuak realita bahwa masyarakat negara berkembang seperti Indonesia, cenderung apatis terhadap suksesi politik. Sehingga kemampuan masyarakat dalam menilai pemimpin yang berkualitas hampir tidak ada.
Hal ini sudah terbukti pada pilpres 2004 lalu. Penilaian masyarakat bukan lagi pada kemampuan calon dalam kapasitas intelektual, tapi lebih condong pada popularitas yang diusung oleh media massa. Penilaian ini tentunya tidak sehat, sebab kepemimpinan bangsa ini bukan hanya diperoleh melalui popularitas semata.
Persoalan bahwa presiden tidak harus S1, sebenarnya menyeret masyarakat pada pemahaman tersebut. Artinya timbul argumen yang seakan-akan menjastifikasi problem di atas. Sehingga cita-cita bangsa dalam pemberdayaan masyarakat yang rasional dan berpendidikan akan sulit diwujudkan.
Semua pihak sadar bahwa yang namanya politik tidak akan lepas dari kepentingan kelopok tertentu. Akan tetapi, kepentingan itu bukan dijadikan alasan dalam memperjuangkan pihak tertentu. Ini berarti kita telah menafikkan konsensus bersama bahwa kita harus mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Problem ini sebenarnya banyak menelantarkan kepentingan yang lebih besar. Pertama sudah jelas akan menafikkan kepentingan bangsa yang seharusnya menjadi prioritas utama. Kedua adalah semakin melemahkan roh pendidikan. Masyarakat akan menilai bahwa pendidikan hanya formalitas saja. Juga akan muncul asumsi bahwa pendidikan seakan tidak penting karena pemimpinnya saja seperti itu.
Terlepas dari hal tersebut, seharusnya kita sudah mulai berpikir untuk lebih progresif. Bangsa ini membutuhkan tauladan dari pemimpinnya di tengah krisis multidimensi sekarang ini. Karl marx mengatakan bahwa para filsuf terlalu sibuk mendefinisikan tentang dunia. Padahal yang terpenting adalah bagaimana merubahnya. Saatnya untuk berpikir bagaimana merubah bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi. Bukan hanya berpikir bagaimana kelompok tertentu bisa eksis dan tetap jaya.