Kamis, 18 Desember 2008

Tukulista ala DPR

Oleh: A. Rahmat


Proyek pengadaan alat kerja elektronik berupa 550 laptop senilai Rp 13,99 milyar hanya pantas menjadi sebuah ‘guyonan’ legislatif. Semua serba irasional, baik dari segi penempatan harga hingga urgensitas peralatan tersebut.
Seperti yang dilansir Jawa Pos (24/03), terdapat 550 laptop anggota DPR senilai 13,99 milyar, 2 scanner senilai Rp 300 juta, 70 laptop untuk setjen DPR senilai Rp 1,54 milyar. Selain itu, 85 unit PC senilai Rp 1,275 milyar, 4 unit server Rp 1,738 milyar, pembuatan aplikasi Rp 250 juta, desain teknologi informasi Rp 500 juta dan jaringan internet wifi senilai Rp 1,399 milyar.
Jumlah dana sebesar ini seharusnya ada penilaian objektif. Pertama tentu pengeluaran dari legislatif harus dikomparasikan dengan kondisi konstituen yang ada. Bagaimanapun juga, lembaga legislatif harus memiliki nilai-nilai kesakralan. Tetapi,melihat kasus ini nampaknya kesakralan tersebut sudah hilang.
Jika melihat kondisi konstituen (masyarakat), tentu budget sebesar ini terlalu sombong dan tidak humanis. Sebab, masyarakat dihadapkan pada posisi yang sulit, baik dari segi ekonomi maupun sektor yang lain. Sehingga ketika budget sebesar ini muncul, sudah jelas akan menjadi perdebatan.
Kedua adalah anggaran yang tidak realistis. Jika diuraikan per-unit, maka laptop per-unit adalah Rp 22 juta. Harga sebesar ini nampaknya terlalu besar untuk ukuran sebuah laptop, atau mungkin anggota legislatif sendiri yang tidak tahu?. Besarnya anggaran ini sangat terlihat jelas adanya ketidak jelasan anggaran. Wajar jika ada penilaian seperti itu, karena sensitivitas kebijakan yang berkaitan denga ‘uang’ itu sangat tinggi.
Ketiga adalah unsur urgensitas. Ungkapan bahwa kebutuhan ini demi efektivitas kinerja, sebetulnya sulit untuk diterima publik. Kita flashback lagi dengan kenaikan gaji dan tunjangan melalui PP no.37 tahun 2006. Alasan utama yang menguak ketika itu adalah demi efektivitas kinerja. Akan tetapi, realitas yang terjadi apakah seperti demikian?.
Selain itu, alasan yang tidak rasional pula adalah laptop ini akan dijadikan inventaris DPR. Nampaknya, anggota DPR terlalu berpikir normatif. Susah dipercaya jika laptop akan mampu bertahan dengan jangka yang lama. Laptop harus dibedakan dengan komputer. Artinya, sensitivitas terhadap kerusakan laptop sangat tinggi dibandingkan komputer. Sehingga untuk inventaris, rasanya hanya berupa bahan bekas yang rusak. Sedangkan perkembangan teknologi meningkat hampir tiap menit.
Berkaitan dengan problem ini, nampaknya pemikiran yang terlalu normatif harus dihilangkan. Pengalaman yang dilakukan oleh KPU dengan pengadaan komputer adalah bukti bahwa ternyata pengadaan proyek alat elektronik tidak jelas. Tentunya, yang menjadi pertimbangan adalah apakah harus memakai laptop dengan kualitas dan teknologi yang sangat tinggi?. Maka dari itu, alasan yang logis tidak bisa ditemukan berkaitan dengan pengadaan alat elektronik ini.
Ketiga adalah dehumanisasi anggota legislatif. Ketika masyarakat mengalami kesulitan ekonomi lewat penggusuran dan bentuk serupa, keberadaan dana yang besar ini merupakan bentuk ‘pelecehan’. Tingkat humanitas yang dimiliki hanya berupa lisan saja, tapi belum nyata dalam tindakan. Mereka tanggap terhadap kondisi bencana alam maupun pengekangan terhadap masyarakat miskin. Tetapi, hanya berupa ucapan dan perdebatan yang tidak menemukan solusi yang cerdas.
Karl Marx pernah berkata bahwa para filsuf terlalu sibuk mendefinisikan tentang dunia,padahal yang terpenting adalah bagaimana merubahnya. Kalau ungkapan ini dikontekskan dengan DPR, sepertinya anggota DPR ini hanyalah sekelompok filsuf saja. Artinya, kebutuhan masyarakat sekarang ini adalah bukan pada wilayah argumentasi wacana, tapi pada tataran tindakan.
Pada dasarnya yang menjadi permasalahan global adalah berkaitan dengan kinerja dan fasilitas. Pemahaman sederhananya adalah kinerja harus beriringan dengan fasilitas. Problemnya terletak di sini. Kinerja dari DPR selama ini hampir tidak kelihatan dan bahkan mengecewakan. Dengan kinerja seperti ini, tidak heran jika muncul asumsi bahwa fasilitas ini tidak seharusnya dianggarkan.
Di mana peran partai
Keberadaan partai politik perlu dipertanyakan juga. Sebab, unsur-unsur yang ada di dalamnya adalah perwakilan partai. Tetapi, suara partai sejauh ini tidak ada. Ini artinya proyek ini telah direstui. Sehingga terlihat jelas bahwa konsentrasi partai nampaknya bukan pada pemberdayaan masyarakat, tapi kepentingan sesaat saja.
Tidak bisa dinafikkan jika yang terjadi saat ini adalah upaya sosialisasi partai. Penguatan dan perluasan basis massa menjadi agenda utama jelang pemilu. Padahal seharusnya memikirkan kondisi rakyat sekarang ini. Jargon mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan hanyalah sebuah ungkapan pemanis saja.
Sehingga bisa dikatakan bahwa kondisi partai sekarang ini sebenarnya belum layak disebut ‘partai’. Alasan yang paling pokok adalah tidak menjalankan fungsinya. Sama halnya dengan manusia, jika fungsinya tidak dijalankan, perlu dipertanyakan apakah dia masih hidup atau tidak. Keberadaan partai yang diharapkan membawa suara rakyat dengan penuh aspiratif ternyata tidak berjalan efektif.
Dalam perspektif dunia humor, tidak ada ketersinggungan karena diejek. Tayangan Empat Mata dengan gaya humor pun demikian, tidak ada ketersinggungan ketika Tukul sebagai host diejek. Sebab, semua itu hanyalah guyonan. Jargon “KEMBALI KE LAPTOP” hanya jargon untuk humor saja, bukan untuk di aplikasikan pada wilayah yang tidak sesuai, apalagi setingkat DPR.

Tidak ada komentar: