Selasa, 26 Mei 2009

TENTANG AKAR INDONESIA


Akar Indonesia adalah sebuah organisasi massa. Organisasi ini didirikan sebagai alat perjuangan untuk menegakan kedaulatan rakyat dibidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Organisasi ini bersifat terbuka bagi setiap anak bangsa yang ingin menegakkan kembali harga diri bangsa.

Kelahiran Akar Indonesia tidak terlepas dari persoalan kemiskinan, ketidak berdaulatan rakyat, yang bermula dari kegagalan dan ketidak mampuan pimpinan nasional dalam mengelola Negara, menegakkan harga diri bangsa dan menghargai rakyatnya - selama 32 tahun pemerintahan rezim orde baru, serta kesalahan yang berulang selama sepuluh tahun pemerintahan rezim reformasi.

Untuk memperbaiki berbagai persoalan yang saat ini kita hadapi, diperlukan kerja keras dan kehadiran seorang pemimpin yang memiliki kualitas dan kemampuan mengembalikan harga diri bangsa dan rakyat Indonesia. Seseorang yang memiliki semua kualitas yang dibutuhkan untuk dapat bersikap tegas menolak tunduk pada kepentingan apapun selain tunduk pada UUD’45 dan filosofi bangsa.

Untuk memenuhi persyaratan itu kita membutuhkan pemimpin yang yang bukan bagian dari masa lalu; Seseorang yang visioner, yang memahami makna demokrasi dan memahami bagaimana demokrasi ditegakkan; Seseorang yang memiliki kemampuan menempatkan nilai–nilai budaya sebagai tonggak pembangunan bangsa menuju cita–cita persatuan, kedaulatan, keadilan dan kesejahteraan; Seseorang yang dalam perjalanannya terbukti lurus dan bersih serta rela berkorban untuk kepentingan rakyat; Berdasarkan hal itulah Akar Indonesia merumuskan cita–cita organisasi sebagai berikut :

VISI
Rakyat Indonesia yang bersatu, berdaulat, aman, damai dan sejahtera.
AZAS
Pancasila

MISI
1. Mempersiapkan pemimpinan nasional yang baru.
2. Mempersiapkan konsep Pengelolaan Negara yang menegakkan kedaulatan bagi rakyat Indonesia di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
TUJUAN
1. Sebagai alat perjuangan untuk perubahan kepemimpinan nasional yang baru.
2. Sebagai alat perjuangan untuk mengembalikan kedaulatan dan martabat rakyat di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya.

PROGRAM STRATEGIS

Memperjuangkan Ratna Sarumpaet menjadi Presiden Republik Indonesia.

Jumat, 08 Mei 2009

Infotaiment + Selebritis=Dilematis

Oleh: A.Rahmat

Seorang pemikir barat pernah mengungkapkan bahwa abad 21 ini merupakan era para selebritis. Pernyataan ini sekiranya bisa dijastifikasi. Dunia selebritis bukan hanya merambat media cetak, tapi bahkan elektronik pun semakin gencar.
Disadari atau tidak, hal ini menjadikan dunia selebritis semakin banyak diminati. Pemahaman umum yang muncul adalah jika ingin menjadi orang terkenal, masuklah dalam dunia selebritis. Pemahaman ini bukan sekedar jargon semata, tapi memang demikian faktanya.

Jika flashback lagi, julukan artis harus benar-benar orang yang sudah mapan dengan keartisannya. Sebuah pengakuan dari Anwar Faudi bahwa ketika mau dikatakan artis, maka harus bisa eksis cukup lama dalam dunia film/ sinetron. Hal ini diungkapkan ketika terjadi perselisihan kriteria seperti apa bagi seseorang untuk dikatakan sebagai artis.

Selebritis dan Infotainment

Ketika berbicara tentang selebritis, maka tidak lepas dari tayangan infotainment. Bila dikaitkan dengan fungsi media massa, maka tayangan infotainment sejatinya sudah termasuk. Pada awal merebaknya tayangan ini, tidak terlepas dari kondisi ketika itu. Kejenuhan terhadap situasi politik dan pemberitaan media, menjadikan tayangan ini sebagai alternatif pilihan.

Sebagai industri media, tentunya diuntungkan dengan respon masyarakat yang begitu besar. Sebab, dalam industri media di tanah air, belum menemukan format terbaiknya, masih sekedar untuk bisa bertahan hidup. Sehingga, ketika masyarakat memiliki apresiasi yang besar terhadap tayangan tersebut, maka kemasannya pun akan lebih baik lagi.

Keberadaan dan eksistensi selebritis, yang kemudian dijadikan publik figur, adalah konsekuensi logis dari maraknya tayangan infotainment. Bila Maria Eva (yang notebenenya artis) terkenal, maka bisa ditebak bahwa dari mana Maria Eva ini bisa dikenal? Suatu hal yang pasti adalah akibat pemberitaan infotainment. Sebelum kasusnya mencuat, nama Maria Eva sangat tidak terkenal. Tetapi, berkat tayangan infotainment, maka eksistensinya sebagai selebritis akan muncul juga.
Problem infotainment

Sebagai salah satu tayangan penyiaran, maka keberadaan infotainment seharusnya mampu dkontrol lewat aturan hukum (UU no.32/ 2002 tentang penyiaran). Kemudian, sebagai salah satu bagian pers, maka seharusnya juga dilandasi oleh UU pers no.40/ 1999 dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).

Sebenarnya, ada dua problem utama pada tayangan ini. Pertama adalah persoalan regulasi penyiaran. Sejauh ini belum ada kepastian yang jelas tentang regulasi penyiaran di Indonesia. Perselisihan keberadaan UU No.32/ 2002 dan KPI masih menjadi polemik dalam dunia penyiaran tanah air. Ketakutan yang muncul adalah adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh KPI jika regulasi ini diserahkan. Apabila diserahkan ke pemerintah, maka trauma masa lalu tetap akan terus menghantui.
Imbas dari perselisihan ini adalah semakin kacaunya regulasi penyiaran di tanah air. Selain itu, semakin tidak terkontrolnya pengawasan tayangan televisi. Jika bercermin pada negara lain, mereka menerapkan Independent State Body yang kemudian diterjemahkan oleh bangsa kita sebagai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Seperti yang disebutkan dalam pasal 7 ayat 2 UU No.32/ 2002, maka posisi KPI bersifat netral, dan Independent State Body ini memang bertanggungjawab terhadap legislatif.
Tentu yang menjadi pertanyaan adalah di mana keberadaan KPI ketika masyarakat berteriak tentang tayangan televisi yang negatif. Sejauh ini, ternyata fungsi yang diperankan hanya sebatas pengontrol dan pengklasifikasi tayangan dan penyiaran. Akan tetapi, berkenaan dengan independensi dan wewenang yang labih, ternyata KPI tidak memperoleh hak tersebut.

Faktor kedua adalah berkenaan dengan era industrialisasi media. Disadari atau tidak, media massa di Indonesia masih dalam proses transisi, jadi belum sepenuhnya masuk pada era industrialisasi. Hal ini bisa dibuktikan ketika media yang diharapkan sebagai salah satu unsur pemberdaya masyarakat. Artinya, ada keseimbangan antara fungsi sebagai media komersil dan pendidikan.
Siapa yang salah?

Ini adalah pertanyaan yang sederhana, tapi memang sangat urgen. Ada sebagian pihak yang menyalahkan unsur medianya. Memang ada kelalaian yang dilakukan oleh media. Bagi media Indonesia, masih memiliki pemahaman bahwa media komunikasi hanya menyampaikan pesan tapi bukan makna. Artinya, media hanya menyodorkan tayangan yang ada, permasalahan diikuti atau tidak, itu terserah masyarakat.
Pada dasarnya, media massa memang berada pada pemahaman itu. Tetapi bukan berarti menafikkan unsur edukasi. Di Amerika, media massa tetap melakukan program media literacy (melek media) terhadap media ‘kuning’. Sementarai itu, hampir tidak ada yang dilakukan oleh media massa di Indonesia. Inilah sebenarnya kelalaian yang sangat fatal yang dilakukan oleh media massa di Indonesia.

Permasalahan ini tidak terlepas juga dari kebingungan media dalam memahami industrialisasi media. Sebenarnya media di Indonesia paham bahwa masyarakat kita masih pada taraf konsumtif, tanpa analisa. Sehingga, solusi yang efektif tentunya harus ada upaya dari media dalam melakukan melek media kepada masyarakat. Akan tetapi, upaya ini terhalang pada pemahaman bahwa media massa juga butuh sokongan dana.

Terlepas dari persoalan tersebut, tayangan infotainment tetap harus ada regulasi dan pemantauan yang jelas. Bukan berarti media harus berlindung pada kebebasan pers, tapi perlu ada aturan yang jelas. Hal ini diperlukan agar masyarakat juga mendapatkan pendidikan yang positif dari keberadaan media.