Senin, 28 April 2008

Gender : Open Society atau Matinya Mahasiswi?

Oleh : Rahmat Abd Fatah*


Sebagai sebuah gerakan social, Gender telah diperjuangkan sejak lama oleh kaum feminis barat yang merasa resah atas dominasi kaum pria. Perjuangan ini bermula dari pertanyaan-pertanyaan sederhana. bagaimana dengan perempuan? Bila perempuan tidak berperan mangapa? Bila mereka berperan, apa sebenarnya yang mereka lakukan? Apa artinya itu bagi mereka?


Selama 30 tahun mengkaji pertanyaan diatas menghasilkan kesimpulan bahwa wanita tidak berperan bukan karena keterbatasan kemampuan melainkan upaya sengaja untuk mengucilkan mereka. Pertanyaan diatas kemudian memunculkan komitmen baru bahwa “kita harus bisa mengubah dan memperbaiki dunia sosial untuk membuatnya menjadi tempat yang lebih adil bagi perempuan dan semua orang” (Georg Ritzer-D.JG).


Komitmen sosial tersebut tampaknya telah melebar sayapnya keseluruh dunia. Tak terkecuali Indonesia. telah muncul berbagai LSM Perempuan, Akademisi, Organisasi Profesional, Ibu-ibu RT, Buruh, bahkan sampai kelompok seks komersial dan waria.
Mahasiswi sebagai bagian entitas tersebutpun dituntut mempunyai komitmen dan responsif terhadap fenomena sosial yang melingkupinya. Ketidak stabilan ekonomi, politik, budaya, dan sosial harus menjadi keperihatinan bersama.


Dengan demikian, muncullah istilah Masyarakat terbuka (Open Society). Dimana mahasiswi tidak harus takut berekspresi dan berkarya namun merupakan sebuah tuntutan. Keterbukaan ruang gerak tersebut adalah peluang yang segera ditanggap oleh mahasiswi.
Open society merupakan istilah yang didengungkan oleh Georg Soros. yang membuat penekanan pada semangat individualisme dan liberalisme. bahwasannya perempuan sudah terlalu lama ditindas, biarkanlah Ia berjalan sesuai dengan kehendaknya. ide ini sejalan dengan kaum Feminis radikal barat bahwa perempuan harus berkorelasi positif dengan lelaki dalam ruang publik tanpa ada tantangan apapun.


Kaitan dengan semangat kaum feminis radikal barat, bagaimana posisi Mahasiswi Indonesia dalam upaya merespon konsep Gender dan fenomena sosial? Upaya responsip terhadap konsep jender dan fenomena sosial nampaknya mengalami penurunan dan bahkan tidak ada. Kalaupun ada bisa dihitung dengan jari.


Fenomena ini mengisyaratkan matinya semangat mahasiswi Indonesia dalam menanggap setiap masalah sosial di sekitarnya. Pertentangan kaum Agamawan normative dan Feminis radikal antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang ekspresi, persamaan dll). sudah harus ditinggalkan.


Meninggalkan perdebatan tersebut bukan berarti tidak peduli. Namun sebaliknya menumbuhkan konsep baru. Bahwa perjuangan gender sesungguhnya bermula dari keprihatinan kaum Feminis dan hal tersebut harus ada dalam benak mahasiswi Indonesia. Konsep gender yang dimaksud merupakan konsep keberpihakan terhadap nasib perempuan dan masyararakat lemah (mustad’afin). Inilah konsep yang harus terbangun dalam gerakan mahasiswi indonesa.


Reality Show


Akibat informasi global, mahasiswi Indonesia diajak memasuki apa yang disebut Guy Debord sebagai masyarakat tontonan (society of the spestacle). Pada masyarakat ini yang dominan adalah budaya citra, simbol sesuatu yang artifisial ketimbang substansi.
Pada titik ini mahasiswi terhipnotis ruang gerak atas fenomena sosial disekitarnya. Mahasiswi dinahkodai oleh tayangan media (produk kecantikan, sinetron, show dll). bahkan tanpa memberikan kesempatan sedikutpun untuk memilih.


Nampaknya, fenomena tersebut telah menyelami kedalam kesadaran mahasiswi Indonesia. Lihat saja mahasiswi yang beragama Islam. konon melarang memamerkan aurat apalagi tubuh erotisnya. Kini menjadi hal yang biasa dan kalau ada yang melarang dia diancam sebagai orang yang kurang pergaulan (Kuper) dan ancaman lainnya. Padahal Islam mengatur bahwa kepada suaminya sajalah. Ia boleh memperlihatkan wilayah erotis itu.


Pertanyaan bagaimana dengan perempuan? Bila perempuan tidak berperan mangapa? Bila mereka berperan, apa sebenarnya yang mereka lakukan? Apa artinya itu bagi mereka? Adalah pertanyaan yang harus ditanyakan sekarang oleh mahasiswi. Artinya, mahasiswi sebagai masyarakat ilmiah harus berpikir secara radikal, kritis, dan sistematis.


Secara radikal bukan berarti mengikuti tafsiran kaum feminis radikal dengan menghalalkan segala cara demi kesetaraan. Namun radikal dalam artian mencari akar penyebab ide itu muncul, kemudian dikaji secara ilmiah dan tersistematis. Keprihatinan terhadap penderitan rakyat; kemiskinan, pelcehan seksual terhadap perempuan, angkah bunuh diri anak, seks pranikah, hamil tanpa suami harus menjadi pertanyaan yang segera dijawab Mahasiswi.


* Pengkaji Pada Lingkar Studi Halmahera Selatan (LsM-Hs) Malang

Tidak ada komentar: