Senin, 28 April 2008

Antara Kapitalisme Dan Etika Politik

Oleh : Rahmat Abd Fatah*

Kapitalisme merupakan ahir daripada sejarah, begitulah tesisnya Fukuyama. Tesis ini mengindikasikan bahwa, umat manusia didunia ini telah terperangkap dalam riak kapitalisme. Kapitalisme telah membelenggu setiap jiwa manusia. Betapa tidak, kita bisa saksikan dimanapun keberadaan kita didunia ini senantiasa bergantung pada kapital. Untuk dipandang lebih baik dikalangan masyarakat harus memiliki modal, merebut kekuasaan harus memiliki modal, mempertahankan status quo harus memiliki modal, singkatnya dalam hal apapun kekuatan modal merupakan hal penentu sehingga tak ayal ia menjelma menjadi ideologi (kapitalisme)
Meminjam Louis Athuser, Demokrasi merupakan ideologi dan atau bentuk pemerintahan yang memiliki batas wilayah yang sama dengan kapitalisme. Demokrasi hanya memberikan “ilusi” bahwa semua orang adalah sama, serta memiliki kekuasaan yang sama. Karena itu demokrasi telah menjadi topeng hubungan eksploitasi ekonomi. Dengan begitiu kita bisa menebak bahwa demokrasi dan kapitalisme memiliki batasan yang sama. Demokrasi sebagai legitimasi dan ekonomi sebagai tujuan.
Bagaimana dengan praktik berdemokrasi elit politik bangsa kita? Apakah demokrasi hanya sebagai legitimasi kepentingan individu dan kelompoknya. Coba kita lihat beberapa kasus terakhir ini. Busung lapar, demam berdarah, diabetes, Korupsi dilingkungan DPR dan tidak ketinggalan sekarang adalah kenaikan harga BBM, kenaikan kebutuhan pokok masyarakat.
Ditengah hempitan ekonomi masyarakat yang serba tidak berdaya itu. Wakil Rakyat kita dengan enaknya menyatukan tekad manaikan gaji tunjangan mereka sebesar Rp. 10 juta perbulan. Belum lagi gaji pokok, gaji penghormatan dan lain-lain. Betulkah mereka memiliki hati nurani? Berbagai janji dan harapan telah mereka berikan dikala kampanye, seolah-olah mereka adalah kooboy yang siap turun dilapangan manakakala masyarakat menjerit kelaparan dan selalu pada kesengsaraannya. Namun kenyataan memberikan lain. Janji yang telah mereka berikan tidak ubahnya debu ditiup angin. hilang begitu saja entah kemana.
Berjuta rakyat miskin yang tidak berdaya hanya bisa mengandalkan sepertiga lahannya menanam singkong untuk mempertahankan hidupnya. Beribu anak bangsa ini menangis karena menjerit kelaparan dan tidak jarang mereka harus mengkhiri hidupnya karena tidak sanggup lagi hidup ditengah kehidupan yang tidak menghidupi ini. Sementara ”mereka” para wakil rakyat berpangku tangan, meminum seteguk anggur melihat mereka didepan layar TV.
Sungguh suatu praktek politik yang tidak etis. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ignas Kleden bahwa, pembaruan sistem politik yang sekarang ramai dibicarakan rupanya hanya bisa dilaksanakan kalau ada pergeseran yang nyata dari estetika politik kepada etika politik, yang didukung juga oleh peralihan nyata dari pemikiran yang didasarkan pada budaya politik kepada pertimbangan berdasarkan moralitas politik.
Artinya, apa yang disampaikan Ignas Kleden diatas menjadikan sebuah renungan kembali akan perpolitikan kita. Yang menurut penulis adalah sebuah perpolitikan yang semberaut. Hal ini bisa kita lihat budaya politik yang terjadi pada ordebaru, orde reformasi. tidak jauh berbeda. Mereka lebih mengandalkan estetika politik ketimbang etika politik. Mereka dengan pintarnya memoles kata-kata, ingin memberikan yang terbaik untuk rakyat, menampilkan simbol keberpihakan, anti penindasan, keprihatinan terhadap kekerasan. simbol budaya dan juga simbol agama. ”Mereka” menampilkan teks suci (Al-quran, dan alhadis) sebagai sebuah kekuatan legitimasi.
Bercermin pada berbagai fenomena politik yang terjadi paskah reformasi, tidak bisa dinafikan lagi kalau, simbol (simbol agama,budaya, janji-janji, retorika) menjadi penentu dalam setiap arena politik. Sehingga jangan mengherankan kalau kemudian dibeberapa daerah yang memenangkan hajatan pemilihan langsung adalah mereka yang memiliki kekuatan modal (modal simbol dan duit).
Berikut komentar yang disampaikan oleh ketua Fraksi Partai Golkar setelah sidang untuk pembahasan gaji tunjangan DPR. ketika ditanya wartawan soal interupsi yang disampaikan Lukman Hakim dari fraksi PPP yang mengusulkan agar kebijakan itu ditinjau kembali. Ketua fraksi partai golkar itu kemudian mengungkapkan Okelah kalau memang setuju, ambil saja uangnya lalu kemudian dirapatkan pada faraksi masing-masing, kenapa harus diributkan lagi,-itukan hanya mencari popularitas semata. Dari fenomena ini membuat kita semakin yakin bahwa wakil rakyat, telah terjebak pada budaya politik estetika dan melupakan budaya politik etis (bermoral).

* Pengkaji Pada LsM-Hs Malang

Tidak ada komentar: