Kamis, 18 Desember 2008

Syarat Capres S-1 sudah Objektif

Oleh: A.Rahmat

Berkaitan dengan usulan calon presiden harus minimal S1, harus kita lihat lebih bijak lagi. Persoalan ini memang berada di ruang politik, tapi bukan berarti harus diinterpretasikan sebagai kepentingan politik. Banyak hal yang perlu dicermati oleh komponen bangsa ini.
Dalam pemahaman demokrasi, banyak pihak menilai usulan ini sebagai upaya untuk menjegal salah satu calon. Karena memang ada uapaya pengajuan syarat yang menjadi salah satu kelemahan calon presiden mendatang. Namun, hal ini juga tidak adil jika kita berbicara pada tuntutan mengenai pendidikan bangsa.
Nampaknya, permasalahan ini semakin memperkuat bahwa kepentingan politik bangsa benar-benar hanya pada proses kekuasaan. Argumentasi dari saudara Joko Riyanto (Jawa Pos, 19/03) bahwa tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan kemampuan leadership, mungkin benar. Akan tetapi, itu adalah sebuah realita kecil.
Jika dikorelasikan dengan pendidikan kita sekarang ini, nampaknya hal ini dinafikkan. Banyak pihak menilai bahwa tingkatan S1 cenderung tidak demokratis. Tetapi, mengapa pemimpin bangsa ini mengharapkan masyarakat berpendidikan tinggi?. Ini artinya tidak ada contoh yang baik dalam bangsa ini.
Dalam konteks kepemimpinan, tidak bisa dinafikkan bahwa pemimpin adalah tauladan bagi umatnya. Nabi Muhammad dalam kepemimpinannya mampu menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia. Kemerdekaan bangsa ini karena masyarakat sudah dibenturkan pada dunia pendidikan.
Sependepat dengan yang diungkapkan oleh Amien Rais (Jawa Pos, 19/03) bahwa dalam dunia akademis dilatih menganalisis, mencari sintetis dan menemukan konklusi dari fenomena. Inilah yang kurang mendapat perhatian dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Permasalahan hanya dilihat pada tataran permukaan saja, sedangkan solusinya hanya bersifat sementara.
Sebagai contoh kasus impor beras. Seharusnya analisa persoalan ini adalah kondisi pertanian dalam negeri. Kenapa produktivitas pertanian menjadi kurang. Sedangkan solusinya hampir tidak ada. Kalau ini terus terjadi, percaya atau tidak, berbagai permasalahan tidak akan bisa menemukan titik solusi yang konstruktif.
Jadi, jika ada pemipin bangsa yang dengan lulusan S2 atau lebih dan ternyata tidak efektif, maka yang perlu diperhatikan adalah kualitas pendidikan. Semua pasti paham bagaimana kondisi pendidikan bangsa ini. Gelar bisa dibeli walau tidak menempuh jenjang pendidikan. Gelar doktor bahkan bisa didapat dan diberi oleh pihak tertentu yang hanya didasari oleh penilaian yang sepintas.
Pemimpin harus menjadi tauladan
Ditengah-tengah perjuangan bangsa dalam meningkatkan kualitas pendidikan, seharusnya hal ini dimulai dari kondisi pemimpinnya. Yang jelas, keberadaan seorang pemimpin pasti menjadi perhatian khusus bagi masyarakat. Jika memang permasalahan tingkat pendidikan minimal S1, seharusnya ini sudah paten. Sehingga pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan adalah mulai terbangun.
Kayaknya kita perlu menganalisa ulang mengapa kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Disadari atau tidak, tingkat pendidikan hanya dijadikan sebuah formalitas saja. Sehingga dalam hal penemuan dan pemahaman sebuah ilmu hampir tidak ada. Kondisi ini tentunya tidak bisa dibiarkan.
Selanjutnya adalah kultur generasi muda yang semakin apatis terhadap persoalan ini. Maka timbul sebuah pertanyaan besar, apa yang harus dilakukan?. Salah satunya tentu harus ada suri tauladan yang digawangi oleh pemipin bangsa ini. Contoh saja dijaman Rasul, yang mana ketika itu kehidupan umat yang masih berada pada jaman kegelapan.
Munculnya sebuah peradaban baru dengan etika dan moralitas yang kuat adalah karena kepemimpinan Rasulullah. Sehingga, masyarakat mampu mencontohi pemimpinnya dan pemimpin mampu menjadi tauladan bagi umatnya.
Dari hasil penelitian Almond dan Verba tentang budaya politik, terkuak realita bahwa masyarakat negara berkembang seperti Indonesia, cenderung apatis terhadap suksesi politik. Sehingga kemampuan masyarakat dalam menilai pemimpin yang berkualitas hampir tidak ada.
Hal ini sudah terbukti pada pilpres 2004 lalu. Penilaian masyarakat bukan lagi pada kemampuan calon dalam kapasitas intelektual, tapi lebih condong pada popularitas yang diusung oleh media massa. Penilaian ini tentunya tidak sehat, sebab kepemimpinan bangsa ini bukan hanya diperoleh melalui popularitas semata.
Persoalan bahwa presiden tidak harus S1, sebenarnya menyeret masyarakat pada pemahaman tersebut. Artinya timbul argumen yang seakan-akan menjastifikasi problem di atas. Sehingga cita-cita bangsa dalam pemberdayaan masyarakat yang rasional dan berpendidikan akan sulit diwujudkan.
Semua pihak sadar bahwa yang namanya politik tidak akan lepas dari kepentingan kelopok tertentu. Akan tetapi, kepentingan itu bukan dijadikan alasan dalam memperjuangkan pihak tertentu. Ini berarti kita telah menafikkan konsensus bersama bahwa kita harus mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Problem ini sebenarnya banyak menelantarkan kepentingan yang lebih besar. Pertama sudah jelas akan menafikkan kepentingan bangsa yang seharusnya menjadi prioritas utama. Kedua adalah semakin melemahkan roh pendidikan. Masyarakat akan menilai bahwa pendidikan hanya formalitas saja. Juga akan muncul asumsi bahwa pendidikan seakan tidak penting karena pemimpinnya saja seperti itu.
Terlepas dari hal tersebut, seharusnya kita sudah mulai berpikir untuk lebih progresif. Bangsa ini membutuhkan tauladan dari pemimpinnya di tengah krisis multidimensi sekarang ini. Karl marx mengatakan bahwa para filsuf terlalu sibuk mendefinisikan tentang dunia. Padahal yang terpenting adalah bagaimana merubahnya. Saatnya untuk berpikir bagaimana merubah bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi. Bukan hanya berpikir bagaimana kelompok tertentu bisa eksis dan tetap jaya.

Tidak ada komentar: