Kamis, 18 Desember 2008

PARTAI POLITIK LOKAL AKANKAH MENYERAP ASPIRASI MASYARAKAT LOKAL?

Penulis: Marwani
(Mahasiswi Magister Manajemen PPs UHAMKA)
 
Apa Bedanya Asosiasi Masyarakat Bersinergi dengan  Partai Politik Nasional?
Potret Indonesia yang menantikan perubahan, dengan munculnya berbagai alternatif dari masyarakat namun perlu kajian yang mendalam karena tidak ada jaminan untuk mencapai kepuasan masyarakat terhadap perbaikan nasib bangsa Indonesia. Salah satu alternatif yaitu keinginan masyarakat lokal mendirikan Parpol (Partai Politik) Lokal dengan harapan aspirasi masyarakat lokal dapat diakomodir[1]. Keinginan tersebut, apakah ada hubunganya dengan  kinerja anggota parlemen sebagai wakil rakyat? dalam artian “mewakili aspirasi masyarakat daerah pemilihan masing-masing”.  Anggota Parlemen yang nota bene mendapat mandat secara langsung dari masyarakat lewat pemilu (pemilihan umum) maupun yang menyatakan secara asosiasi lewat statement asosiasi tertentu, namun realitasnya kebijakan yang diputuskan oleh anggota parlemen tidak sesuai dengan harapan rakyat.
Fungsi parlemen sebagai regulator, kenapa bukan ini yang dipersoalkan oleh masyarakat? Karena tanpa kritis masyarakat terhadap fungsi parlemen yang tidak efektif dan efesien, maka anggota parlemen tidak merasa bersalah sehingga beban amanat untuk mengakomodir  aspirasi masyarakat terlupakan begitu saja dan tanpa dosa politik. Atau ada kegembiraan dari para elit politik di senayan ketika issue partai politik lokal ini akan di bahas Undang-undangnya, karena masyarakat melupakan agenda pembangunan yang tinggal kurang lebih satu setengah (± 1 ½) tahun lagi.  Pembangunan yang riil untuk kepentingan masyarakat terabaikan oleh persiapan pemilu, yang semestinya dibahas DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) oleh fraksi tertentu, institusi  pemerintah tertentu  dan lembaga independen KPU (Komisi Pemilihan Umum), tapi kelihatannya issue persiapan pemilu menjadi ajang kesibukan dari para elit politik sekarang ini, dampaknya sangat jelas dirasakan oleh masyarakat dengan kenaikan harga BBM dan sulitnya untuk mendapatkan BBM diberbagai tempat, begitu pula dengan harga  kebutuhan pokok yang lain semakin melonjak.
Kemana para elit politik di parlemen? Apa yang dihasilkan dari research yang dilakukan setiap tiga bulan sekali? Apakah kinerja anggota parlemen tidak berkorelasi positif terhadap pembangunan, sehingga tidak terjadi efisien anggaran, tapi in-efesiensi. Betapa kompleksnya persoalan bangsa ini, sehingga para pejabat daerah (Bupati)  se-Indonesia pun hanya tertidur dihadapan pertemuan dengan Presiden RI (Bp. Susilo Bambang Yudoyono), atau mereka tidak mau pusing-pusing berpikir lagi untuk kepentingan masyarakat. Yang seharusnya pada pertemuan tersebut mendengarkan harapan dari Presiden RI yang sisa masa jabatannya tinggal ± 1 ½ tahun lagi dan sekaligus menjadi evaluasi untuk perbaikan di masa yang akan datang, Walaupun seharusnya melakukan evaluasi adalah lembaga pengawas yang bersifat independen misalnya BPK (Badan Pengawas Keuangan) dan BPKP  (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) yang sangat terkait dengan realisasi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Misalnya, badan pengawasan yang telah dibentuk oleh pemerintah, dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini[2]
 
BPKP inilah yang melaporkan kepada wakil presiden seberapa jauh tingkat keberhasilan realisasi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), apakah sudah sesuai dengan rencana atau terjadi penyimpangan  dari rencana APBN yang disalurkan kedaerah setiap tahun. Dengan demikian manajemen pengawasan berjalan lewat jalur formal yang memang berfungsi mengawasi dan mengevaluasi tingkat keberhasilan pembangunan, sehingga ada kesinambungan informasi dari hasil research yang telah dilakukan oleh anggota DPR di daerah pemilihannya masing-masing. Dengan demikian Pemerintah dapat menyusun kebijakan berdasarkan informasi dari bawah dan DPR RI dapat memutuskan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Partai Politik Lokal  tidak jauh berbeda dengan asosiasi petani, pedagang kaki lima (PKL), nelayan, sopir angkot, ormas (Organisasi Masyarakat) yang begitu banyak macamnya, Serikat Pekerja dan lain-lain. Jika Undang - undang Partai Politik Lokal itu ada, maka mereka itulah yang akan muncul sebagai partai politik lokal yang memperjuangkan aspirasi kelompoknya masing-masing. Padahal asosiasi di masyarakat telah memberikan statemen dukungan kepada satu partai atau calon pimpinan (Calon kepala negara, legislatif dan kepala daerah) dan itu dapat kita lihat pada saat menjelang Pemilu berlangsung. Jadi, penulis melihat solusi persoalan ini, yaitu hendaknya kesadaran para elit politik agar kembali bersuah dengan  masyarakat daerah pemilihannya lalu mendengarkan aspirasi mereka, dan di parlemen memperkuat regulasi yang berpihak kepada kepentingan masyarakat bawah.
Revolusi Tandingan
Keinginan masyarakat mendirikan partai politik lokal di Indonesia di luar Propinsi Nangro Aceh Darussalam (ada kekhususan yaitu konflik yang berkepanjangan), ada kemiripan dengan kecendrungan teoritis   baru, yang muncul pada tahun 1970-an, dan menempati posisi dominan sepanjang 1980-an, dengan tepat diistilahkan sebagai ”revolusi tandingan terjadinya revolusi tandingan dalam teori dan kebijakan pembangunan.   Menurut Bjorn    Hettne, bahwa:
Revolusi tandingan dalam teori dan praksis harus dipahami dengan latar belakang gelombang neoliberal anti-Keynesian yang umum di Barat dan munculnya ideologi  pasar di Timur. Jadi revolusi tandingan merupakan bagian dari perubahan iklim politik yang mempengaruhi  ekonomi maupun  politik  domestik di negara industri dan hubungan Erofa-Selatan.[3]
Partai Politik Lokal akan menjadi lembaga tandingan dari partai Nasional yang ujung-ujungnya menyatakan akan memperjuangkan aspirasi kelompoknya, dalam artian perbaikan ekonomi masyarakat grass root sebagai pekerja riil yang tadinya mendukung partai nasionalis, namun tidak kesampaian aspirasinya di lembaga parlemen saat ini.
Masih pendapat Bjorn Hettne, mengatakan bahwa:
Pada tingkat yang lebih dalam, revolusi tandingan menentang dan menolak kompleks rasa bersalah Barat yang ada dibalik sosok ”Orang-orang Dunia Ketiga”, sangat khas dalam teori keterbelakangan baik yang reformis maupun radikal. Negara miskin menjadi miskin karena kekeliruan manajemen. Sebagaimana dicatat oleh Toye, ”pandangan cemerlang pada 1980-an adalah pandangan terhadap dunia yang sedang mengembangkan sumber daya  dan kemampuannya semata-mata sebagai jawaban terhadap naik-turunnya harga dan ketidakmampuan pemerintah”  (Toye 1987a:viii). Revolusi tandingan menolak ”pembatasan hal khusus” dan menghendaki penyatuan teori maupun kebijakan, yakni penyatuan pendekatan ortodoks.[4]
Pandangan di atas, sangat identik dengan apa yang terjadi di Indonesia tercinta ini, harapan masyarakat kurang lebih sama dengan yang digambarkan oleh Bjorn Hettne, bahwa tujuan mereka adalah memperbaiki keyakinan pada mekanisme pasar dan kebijakan perdagangan bebas, argumen mereka dalam menggambarkan kesalahan, distorsi, gaya hidup mewah, dan korupsi yang begitu jelas dalam pembangunan selama dua atau tiga dekade yang lalu.[5]  Begitu pula di Indonesia ini, selama Orde Baru lalu datang era Reformasi, namun realitas pembangunan masih jauh dari harapan masyarakat. Mekanisme pasar yang semakin buruk dan regulasi yang masih simpang siur di mana-mana.[5]
Ada keprihatinan yang lebih dibandingkan apa yang diungkapkan oleh Bjorn Hettne, yaitu negara miskin menjadi miskin karena kekeliruan manajemen. Berbeda dengan Negara Indonesia ini,  negara kaya tapi miskin juga karena kekeliruan manajemen. Sehingga patut adanya jika masyarakat bawah bertanya:
1. Benarkah anggota parlemen menjalankan fungsinya sebagai regulator selama 3 ½  tahun yang lalu?
2. Dimana letak keadilan dalam sistem pemerintahan demokrasi bersembunyi?
3. Apakah mungkin ada alternatif lain sebagai solusi memparbaiki bangsa ini? 
Itulah yang memotivasi masyarakat untuk mendirikan Parpol Lokal.
Solusi alternatif dari sisa waktu masa kerja periode anggota parlemen saat ini, hendaknya dilakukan evaluasi  terhadap manjemen pengawasan oleh yudikatif dari apa yang telah dikerjakan oleh legislatif bersama eksekutif. Agar ada upaya perbaikan nasib bangsa ke depan, sehingga dengan demikian masih ada secercah harapan kehidupan yang cemerlang

Tidak ada komentar: