Prof. Dr. Kuntowijoyo, fisiknya memang
telah tiada dan ruhnya telah menghadap Sang Pencipta, namun kearifan
pemikirannya meninggalkan rekam jejak yang amat luhur untuk terus
diperdengarkan. Sebagai cendekiawan kebanggaan Bulaksumur, Prof. Dr
Kuntowijoyo adalah berkah Tuhan yang begitu besar untuk Indonesia. Ia
menjalani pengembaraan ilmiah dengan memperlakukan kebudayaan sebagai
proses transformation in continuity and continuity in transformation. Bahwa
kebudayaan tidak mungkin ada tanpa sejarah dan sejarah tidak mungkin
ada tanpa kebudayaan; melalui sejarah kebudayaan terwujud, dan melalui
kebudayaan sejarah tercipta.
Kuntowijoyo menghadiahkan pada kita
warisan paradigma berpikir yang begitu dalam dan filosofis dengan apa
yang disebut sebagai Ilmu Sosial Profetik (ISP). Konsep ini adalah
bentuk turunan dari prinsip integrasi ilmu pengetahuan (sains) dan agama
yang diyakini sepenuhnya oleh Kuntowijoyo. Apakah itu profetik? Dari
segi bahasa, profetik dapat dikatakan sifat yang menyerupai nabi. Nabi
memiliki sifat transformatif dan mencerahkan. Maka intelektual profetik
adalah intelektual yang akan membawa transformasi pada masyarakat.
Ilmu Sosial Profetik: Magnum Opus Prof. Kuntowijoyo
Secara epistemologis, Ilmu Sosial
Profetik (ISP) berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu
realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan paham positivisme yang
memandang wahyu sebagai bagian dari mitos. Sementara secara metodologis
ilmu sosial profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan
dengan positivisme. ISP menolak klaim-klaim positivis seperti klaim
bebas nilai dan klaim bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah
fakta-fakta yang terindera. Namun ISP tidak hanya menolak klaim bebas
nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial
untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. ISP tidak
hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa adanya
tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang
diidamkan masyarakatnya. ISP merumuskan tiga nilai penting sebagai
pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter
paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.
Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi
artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan,
kekerasan dan kebencian dari manusia. Kuntowijoyo mengusulkan humanisme
teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat
kembali martabat manusia. Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan
diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia
(kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur
dengan rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena
masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi
(obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas
(agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).
Nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial
Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki
tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman
kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan
hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika marxisme dengan semangat
liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif, Ilmu
Sosial Profetik justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada
nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah
ditransformasikan menjadi ilmu yang objektif-faktual. Sementara
transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi
hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian
penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama
pada kedudukan yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.
Menolak Hegemoni Materialisme Ilmiah
Ilmu Sosial Profetik yang ditelurkan
oleh Kuntowijoyo memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran
(superstructure) menentukan basis material (structure). Ini sejalan
dengan pemikiran Alfred North Whitehead (1926) yang menawarkan pandangan
dunia (worldview) baru berdasarkan permenungan filosofi dan penelitian
ilmiah di tengah krisis pandangan dunia modern akibat pandangan
materialisme ilmiah—yang meretakkan hubungan harmonis antara manusia,
masyarakat, alam dan seluruh kenyataan yang melingkupinya. Whitehead
menolak pandangan dualistis (memisahkan manusia dan alam) yang cenderung
bersifat eksploitatif terhadap alam. Suatu pandangan yang telah
mengakibatkan pengurasan sumber-sumber alam, serta pengotoran dan
perusakan lingkungan. Sebaliknya, baik manusia dan alam merupakan suatu
serikat satuan-satuan actual (society of actual entities) yang berkutub
dua atau bersifat ‘bipolar’ (kutub fisik dan mental).
Manusia itu pada hakikatnya memiliki dua
sisi. Pertama adalah sisi material (fisik) yang terjelma dalam
komposisi organiknya. Kedua adalah sisi spiritual yang merupakan pentas
aktivitas pemikiran mentalnya. Jadi, manusia bukan semata-mata suatu
materi yang kompleks, tetapi personalitasnya adalah dualitas elemen
material dan nonmaterial. Maka dalam ilmu pengetahuan, tidak dapat kita
hanya melakukan penelitian pada segala yang fisik. Karena jika tidak,
ilmu pengetahuan hanya akan menjadi menara gading. Lebih buruk lagi,
menjadi komoditas dagangan ekonomi dan politik.
Paradigma berpikir yang diperjuangkan
Kuntowijoyo inilah yang dimaknai sebagai sebuah ‘penelitian’ ke dalam
realitas—dengan hanya menerima realitas sejauh dapat dibuktikan dengan
benar. Pemikiran ini bukan semata-mata cinta akan kebijaksanaan; tetapi shopia,
yaitu kebijaksanaan itu sendiri. Penelitian yang sungguh-sungguh bisa
dimulai dengan mempelajari fakta-fakta yang sudah diketahui, kemudian
berlanjut sampai menemukan yang belum namun dapat diketahui. Sayangnya,
ilmu pengetahuan modern yang dipengaruhi pandangan materialisme ilmiah
menutup pintu bagi banyak pertanyaan menarik yang tak dapat dijawab. Ia
justru lebih berminat pada beberapa fenomena membosankan yang dapat
diukur, yang seolah dengan sukarela menyerahkan semua rahasia
sederhananya kepada ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, dengan
kejujuran, ilmu pengetahuan modern telah berhasil meneliti realitas
sampai ke kedalaman yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.
Pada hakikatnya, yang diuji dalam ilmu
pengetahuan modern itu adalah konsep-konsep yang telah dibentuknya
berkaitan dengan kenyataan sejati dari segala sesuatu. Sedangkan
paradigma yang seharusnya terbangun dalam budaya ilmiah adalah kita
mempelajari ilmu pengetahuan untuk memahami sumber dari segala konsep
yang ada, yaitu kesadaran (consciousness). Ilmu pengetahuan dipahami dan
dikembangkan dengan mengikutsertakan kesadaran kita secara mendalam,
seperti misalnya bagaimana mencapai kebahagiaan, ketenangan jiwa,
keadilan sosial dan keberlangsungan lingkungan hidup. Dalam pandangan
materialisme ilmiah, ilmu pengetahuan dibiarkan hanya bersinggungan dan
berorientasi pada materi. Seharusnya jelas bahwa pokok-pokok persoalan
non-material juga harus dipelajari. Mereka yang memproklamirkan diri
sebagai ilmuan telah membatasi minat mereka pada pengujian-pengujian
fisik semata. Pada akhirnya kedalaman ilmu pengetahuan dihindari,
kedangkalan dirayakan.
Ilmu pengetahuan adalah jalan untuk
memahami kebenaran Dzat Maha Sempurna yaitu Tuhan, baik melalui
firman-Nya yang terkandung dalam kitab suci maupun alam semesta. Secara
simultan pula, metode ilmiah adalah jalan untuk ‘berkomunikasi’ dengan
alam semesta; let the universe speak for itself. Maka penanaman
budaya ilmiah bagi kaum intelektual muda hari ini harus mampu mengubah
perhatian mereka untuk tidak bertumpu pada masalah material dan dunia
fisik belaka. Karena manusia modern mulai merasakan kehampaannya, sampai
kemudian tumbuh kesadaran untuk mempertemukan kembali antara
spiritualitas dan ilmu pengetahuan.
*ditulis oleh Azmy Basyarahil (Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada)
Sumber: http://sagasitas.org/prof-kuntowijoyo-ilmu-sosial-profetik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar