Selasa, 22 Desember 2009

HIJRAH WAKTU


(Oleh : Herman Oesman)

"Tanpa kita menerima fakta bahwa semuanya akan berubah,
kita tidak akan mampu menemukan ketenangan."
(Shunryu Suzuki – Master Zen)

MENJALANI tahun 1431 Hijriyah dalam waktu dekat, tak berbeda dengan hari-hari biasa. Kita jalani apa adanya. Nuansa pergantian tahun (Hijriyah) dalam kalender Islam ini tidaklah sama dengan nuansa pergantian tahun Miladiyah (penanggalan Masehi) yang rutin kita lalui.

Pada setiap pergantian tahun Masehi (miladiyah), kita justru menanti detak jam pukul 12 malam dengan pesta dan hiruk-pikuk tak bermakna. Memukul tiang listrik, meniup terompet, mabuk dan sebagainya. Kita nikmati dan larut. Kita pun menjadi bagian dari pusaran waktu. Lalu setelah itu? Kita seolah menjalani hidup yang muspra.

Waktu Mekanis

Pergantian tahun dalam bentuk apapun, adalah waktu yang tidak konstan. Di sana ada ”perubahan”. Pendulum, jarum jam dan angka-angka yang secara mekanis mengalami pergerakan. Mulai dari angka satu sampai angka 12 yang terbagi menjadi 24 jam. Alan Lightman, seorang fisikawan kelahiran Memphis, Tennessee, Amerika Serikat tahun 1948, dalam bukunya Einstein’s Dreams (1999) melukisnya sebagai waktu-mekanis.Waktu mekanis ---menurut pandangan Lightman—yang terurai apik dalam catatan 24 April 1905 pada salah satu bagian dari buku itu menyebutkan, ”...kaku, laksana pendulum besi raksasa yang terayun-ayun maju-mundur, tak dapat ditolak. Sudah ditetapkan sebelumnya.” Waktu tetap bergerak, menggilas apa saja. Waktu tak dapat ditahan. Al-Qur’an pun memberi ’peringatan’ keras tentang berharganya waktu. Sehingga itulah, Tuhan pun bersumpah dengan waktu. (QS. Al-’Ashr).

Memang, mengarifi, memaknai dan menyikapi waktu tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Setiap putaran waktu, selalu kita genggam erat harapan-harapan. Kita ingin tetap sukses dan beruntung. Padahal, Lightman mengingatkan, mereka yang hanya ingin tetap sukses, beruntung, penuh sukacita dan takut musibah atau kesedihan, adalah orang yang tak siap menghadapi kenyataan atas berjalannya waktu.

Mengawali tahun (Miladiyah) dipenghujung 2009 ini, kita masih disentak rentetan musibah yang tidak ada habis-habisnya. Mulai insiden moda transportasi, longsor dan banjir yang menimpa saudara-saudara kita. Semua ini menumpahkan emosi dan meletakkan kesadaran kita pada titik nadir dan seolah ”menggugat” takdir. Pada konteks ini yang dapat mengisi ruang-ruang batin dan pikiran kita hanyalah Sang Pencipta. Dan karena itu, alangkah bijak dan paling pantas bila semua musibah itu kita kembalikan kepada Sang Pemilik Waktu.

Pada butiran waktu yang terangkai dan melintasi kehidupan, sudah tersedia ruang untuk di-taffakuri, direnungkan. Waktu memiliki dimensi banyak yang secara serentak seperti ruang. Merenungi perjalanan waktu, setidaknya memberikan kesadaran, bahwa di sana tak hanya hidup satu ruang, tapi begitu banyak ruang. Bahkan terlihat paradoksal. Saling berbenturan dengan akal sehat kita. Demikian halnya, suatu waktu, kita berada pada kepatuhan dan khusyu dalam menjalani pusaran arus ritus keagamaan. Namun, di lain waktu, kita menyaksikan, (bahkan) juga ikut melakoni dan terjebak pada penipuan, korupsi, perampokan, tindak kekerasan, dan sebagainya. Dalam waktu itulah, kita mencari identitas, kesejatian, dan bertanya tentang diri ini. Hanya pada waktu, kita mengelola diri, menjadi subyektif dan obyektif sekaligus.

Waktu Kesadaran

Pergantian tahun dan bergeraknya waktu setidaknya menyiratkan sebuah tekad, bahwa yang perlu ditaati adalah waktu kesadaran, bukan waktu mekanis. Karena dengan waktu kesadaran, kita tetap berada dalam keterjagaan. Tidak secara mekanis, menghitung detak jam dan berlalunya hari-hari tanpa sedikitpun memberikan perubahan pada watak dan perilaku kita. Apa jadinya, bila pada waktu kemarin, watak dan perilaku kita ternyata tetap sama, dan di waktu mendatang bahkan semakin menjadi-jadi. Semakin liar, serakah dan rakus. Mungkin inilah yang diingatkan Tuhan, dalam bahasa al-Qur’an, asfala saafiliin.

Waktu mendorong akal dan hati nurani kita untuk ikut bergerak, karena hanya akal dan hati nurani-lah merupakan nilai penentu bagi seorang manusia untuk melakukan sesuatu. Bukan status, harta dan kekuasaan. Titik.

Penanggalan tahun Hijriyah melalui bulan Muharram mengandung hikmah, bahwa pergantian waktu setidaknya merubah seluruh sikap dan watak kita menjadi lebih arif-bijaksana. Inilah saat hijrah akal dan hati nurani. Hijrah, boleh jadi memindahkan perilaku yang demikian keliru dan kasar menjadi lebih halus dan selalu sadar akan kekeliruannya. Hijrah adalah sedikit ruang untuk kita bertafakkur, merenung tentang waktu yang telah kita jalani.

Hijrah adalah pergerakan waktu kesadaran yang memang tidak butuh gegap-gempita dan seremoni. Tapi lebih pada semaraknya naluri dan nurani untuk tetap kokoh bertahan dalam gempuran perubahan waktu. Dengan hijrah, ada nilai-nilai kebajikan yang dapat diraih, sambil tetap berharap semoga nilai dan mental machiavelis (menghalalkan segala cara) tidak terulang, apalagi ditumbuh-suburkan.

Pada hijrah, kita berharap ada penghayatan waktu untuk menggumuli hidup lebih bermakna. Memperkaya jiwa dengan menumbuhkan kesadaran, karena itu waktu tidak harus disia-siakan, waktu harus dimaknai. Sehingga setiap musibah harus pula diselami dalam deterministik kesadaran. Hijrah adalah gerakan revolusi mental dan nurani melalui waktu kesadaran untuk memperbaiki tatanan-tatanan amburadul, mengatur sistem agar lebih sehat. Memperbaiki mental kita untuk lebih siap atas segala yang bakal kita hadapi. Hanya dengan itulah, hijrah lebih memberi manfaat.

Di tahun baru 1431 Hijriyah, mungkin dapat menjadi cermin besar untuk kita kembali berkaca, tentang apa yang sudah kita lakukan pada waktu-waktu kemarin. Sudah saatnya bangsa ini melakukan hijrah waktu, dari waktu mekanis menuju waktu kesadaran, untuk menyadari segala kekeliruan dan kesalahan yang selalu saja diperbuat. Tanpa itu, mungkin kita perlu menyelami hati sambil bertanya : ”manusiakah kita”? []