Sabtu, 14 Maret 2009

Cahaya Yang Hanya Sebentar


Secara pribadi, aku tidak mengenal beliau. Istri tercintakulah yang mengajaku menikuti kuliah Dhuhanya di Iqro Islamic Centre Pondok gede setiap minggu pagi. Awalnya aku hanya sampai di parkiran saja, Baca Koran, sarapan dan menunggu istri mengikuti kuliah dhuha. Sampai pada suatu hari, saat setelah semua lembaran Koran habis terbaca, sayup-sayup aku mendengar suara dari arah tempat kuliah dhuha itu. Aku Cuma merenung, mengapa tak kuikuti saja kuliah dhuha itu mulai minggu depan.
Minggu depannya saat aku menatap wajah pembicara itu, aku tercenung. Masya Allah lelaki itu begitu mempesona. Aku seakan melihat cahaya mengelilingi wajahnya. Ya beliau begitu bersinar pagi itu. Aku masih ingat saat itu awal minggu dibulan Februari 2005. kenapa pagi itu kami datang agak terlambat , perjumpaan yang kurang dari satu jam malah dapat meyakinkan diriku “aku akan datang tiap minggu disini; Usta”.
Setelah itu , apabila tidak ada kepentingan yang lebih mendesak, kami berduapun setiap minggu rajin mengikuti dakwahnya. Menikmati setiap kata yang diucapkannya dan tak lupa mencatatnya (hal yang sebenarnya sulit untuk dilakukan. karena Ustaz terlalu tinggi ilmunya). Usai beliau memberikan kuliah, tak lupa sengaja kucegat ditangga untuk menyalaminya. Untuk mempresentasikan rasa hormatku pada beliau. Satu yang kuingat beliau tidak pernah lupah memberikan senyum saat aku kedepankan tanganku untuk mengajaknya bersalaman. Tentu ‘wa alaikum salam’ tak pernah lupa balas untukku.
12 Juni 2005, kami mengajak anak-anak berlibur ke lido. Karena anak yang paling besar hendak menghadapi ujian. Kamipun mengajak mereka berlibur untuk memudahkan konsentrasi belajarnya. Astagfirullah, Minggu pagi itu seharusnya kami tidak pergi, seharusnya kami tetap “menimba ilmu” ke Iqro. Karena pada hari rabu pagi kabar yang mengejutkan itu datang. Ustaz telah berpulang. Yang berarti perjumpaan kami dengan Ustaz yang terakhir, terjadi pada kuliah dhuha du pekan sebelumnya. Innalillahi wa inalilahi rojiun.
Terhenyak oleh kenyataan itu akupun bergegas ke Iqro sendirian. Istri telah berangkat kerja saat ia mengabari berita itu. Sesampai di iqro’, lautan manusia telah memadati aula. Akupun segera mengikuti sholat untuk Ustaz. Saat sang Imam menangis, akupun tak kuasa membendung emosiku.
Untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku menangis saat melakukan sholat jenazah. Entah mengapa. Padahal aku baru sebentar mengenalnya. Namaku pun ia tak tahu dan kamipun hanya beberapa kali bersalaman. Tetapi yang jelasa aku memiliki rasa kehilangan yanga amat sangat saat itu hingga sekarang. Cahaya yang hanya sebentar kulihat itu telah dipanggil oleh yang maha kuasa. Cahaya yang dapat membuat aku bersemangat pergi bersama isteri di minggu pagi, sekarang tidak ada lagi.
Selamat jalan Ustaz, begitu lantunku saat berjalan melewati Jenazah Ustaz di pembaringan. Semoga dilapangkan kuburmu, diterangi kuburmu dengan cahaya-Nya. Dan dibukakan pintu gerbang taman-taman sorga dimana mengalir sungai-sungai dibawahnya, untukmu, Amin.

Jatibening, 20 Juni 2005
Kresnamurti: kresnamurti@gmail.com
Komp. TNI Jatibening Indah, Bekasi

(Di saring Oleh: Rahmat Abd Fatah dari Episode Cinta Sang Murabbi; Ketenangan bersama KH. Rahmat Abdullah. Hal-84).