Selasa, 16 Juni 2009

Kenapa Jargon-Jargon Anti Neolib ala Capres/Cawapres Hanya Omong Kosong ?

Kenapa Jargon-Jargon Anti Neolib ala Capres/Cawapres Hanya Omong Kosong ? Tulisan ini di kutip dari artikel: Arah Perjuangan Sebenarnya dan Taktik Peleburan PRD-PAPERNAS Ke Partai Bintang Reformasi (PBR) (Siapakah Sebenarnya kekuatan Anti-Neoliberalisme) http://kprm-prd.blogspot.com/2008/09/debat-bualan-prd-papernas.html Karena secara material, secara manajerial dan, yang terpenting, secara politik mereka tidak memiliki kapasitas untuk mandiri. [1] Padahal, selama masih ada swastanisasi oleh segelintir orang terhadap alat-alat produksi sosial, maka sudah jelas akan ada pengisapan (tidak perduli pemilik modalnya orang Asing atau Indonesia)—dan cilakanya, para pemodal Indonesia tak memiliki kapasitas (sekali lagi) material (terutama alat-alt produksi berteknologi tinggi),

kapasitas manajerial, dan kapasitas politik untuk melepaskan diri (secara bertahap pun) dan mengembangkan diri (secara mandiri) dari modal Asing. Apalagi, setelah krisis 1997, hampir sebagian besar kapasitas mereka ambruk. Dan sekarang hanya sebagain kecil saja yang masih memiliki tersebut, itupun dalam arti kapasitas manajerial—Arifin Panigoro, Bakri; Jodi Setiawan, untuk menyebut sedikit contoh—bukan kapasitas material/alat-alat produksi berteknologi tinggi, dalam istilah ekonom Orde Baru: kandungan lokalnya terlalu rendah. Apakah bisa dibayangkan mereka berani melepaskan diri dari ketergantungan terhadap (modal) asing? Tidak, bagi pengusaha (bahkan politisi) “realistis [2]”; dan, walaupun mereka memiliki

keberanian, kehendak politik, namun mereka tidak mengandalkan dirinya pada kekuatan rakyat yang sadar (ideologis), maka nasibnya sudah pasti, seperti juga terjadi pada rejim-rejim “nasionalis” yang pernah ada: ambruk. Kenapa harus menyandarkan diri pada rakyat? Kekuatan rakyat harus dipandang dalam arti: 1) sebagai tenaga produktif; 2) pelindung dari gempuran/tekanan kapitalis/modal asing (yang sering menggunakan negaranya dan badan-badan internasional) untuk meruntuhkan bargain ekonomi-politik dalam negeri—apalagi bila kita masih harus berkompromi dengan modal asing (seperti di Venezuela) karena kita masih belum sepenuhnya memiliki kapasitas memproduksi tenaga produktif (terutama alat-alat produksi berteknologi tinggi), juga belum sepenuhnya memiliki kapasitas manajerial. [3] Dari sejarahnya,

lahirnya para pengusaha “nasional” ini bukan dari hasil perjuangan mereka dalam meruntuhkan kekuasaan Feodal maupun Kekuasaan Penjajahan Kolonial, melainkan lahir dari hasil kolaborasi mereka dengan Modal Internasional, terutama semenjak Orde Baru. Mereka dari lahirnya sudah tidak punya kapasitas untuk membangun Industri dalam negeri, terutama dalam memajukan tenaga produktif (teknologi, kecakapan dan kesehatan tenaga kerja). Satu-satunya yang ada dalam benak mereka adalah bergantung pada modal Internasional: membangun berarti Investasi Modal Internasional; membangun berarti menambah Hutang Luar Negeri. Ketergantungan yang kuat terhadap Modal Internasional membuat mereka tidak akan berani melawan Dominasi Modal Internasional, bahkan akan saling berlomba untuk menjadi calo bagi Modal Internasional. Mereka mungkin hanya mengeluh ketika dengan cepat kekayaan alam kita dijarah Modal Internasional,

namun dengan cepat pula mereka akan tersenyum ketika ceceran keuntungan Modal Internasional jatuh ke tangan mereka—berupa fee atau sebagai rekanan bisnis. Memang mereka belum memiliki mental borjuis atu industrialis, tapi masih mental calo (merchant capital/society). Apa lagi yang bisa kita katakan mengenai para purnawirawan Jendral? Mereka itu adalah para Penjahat HAM dan, selama ini (terutama bila sedang memegang kekuasaan), mereka adalah para pendukung setia kapitalisme Orde Baru-Neoliberalisme. Dan kita tahu bahwa hampir semua perusahaan yang dipegang oleh militer itu AMBRUK atau merugi. Seperti juga “borjuis” dalam negeri, militer tak memiliki kapasitas untuk mengelola “nasionalisme” (berbeda sangat jauh dengan militer fasisme Jerman), atau tak memiliki kapasitas mengelola nasionalisasi aset-aset nasional.

catatan kaki:
[1] Batas antara realisitis dengan pragmatis nampaknya setipis kulit bawang.
[2] Seperti saya jelaskan sebelumnya, faktor lain yang akan membantu, seperti juga yang dilakukan oleh pemerintah Venezuela, adalah bersekutu secara internasional dengan platform progresif—bukan saja demi kepentingan ketahanan dukungan politik internasional, propaganda internasional, namun juga untuk mempertinggi tenaga produktif dalam pertukaran internasional yang lebih adil.

[3] Pengertian obyektif maknanya adalah: disadari atau tidak disadari oleh rakyat, kita harus menjelaskan pentingnya sosialisasi kekayaan (program darurat) dan alat-alat produksi sebagai kebutuhan obyektif rakyat; kita tidak boleh menipunya.

Tidak ada komentar: